KJS, bukan Kartu Jokowi Sehat
oleh Singgih Subiyantoro
oleh Singgih Subiyantoro
Ada sebuah fenomena menarik yang sedang terjadi di tanah air dimana semua media terus menyoroti seorang Jokowi. Kurang lebih selama satu tahun terakhir ini sepertinya orang yang bernama asli Joko Widodo menjadi pusat pemberitaan di berbagai media, kemanapun ia melangkah, hampir tidak pernah luput dari jangkauan kamera. Secara tidak sadar kita semua sebenarnya berada di dalam femonema tersebut. Banyak orang yang bangga karena ini menjadi suatu sejarah bangsa juga karena baru pertama kali ini seorang gubernur bisa melebihi ketenaran seorang selebriti.
Nama Jokowi sempat menduduki
peringkat ke-5 teratas dalam daftar yang dikeluarkan oleh Google Zeitgeist pada
tahun 2012. Dunia pun lewat The City Mayors Foundation, turut serta memberikan
penghargaan atas kerja keras Jokowi dengan menempatkannya pada urutan ketiga dalam
pemilihan walikota terbaik dunia "World Mayor Project 2012".
Popularitas Jokowi dimulai semenjak menjabat sebagai Walikota Solo selama dua
periode yakni tahun 2005-2010 dan tahun 2010-2015. Periode keduanya hanya 2 tahun
menjabat, karena akhirnya memutuskan untuk maju dalam Pemilihan Gubernur DKI
Jakarta pada tahun 2012 lalu. Ternyata popularitasnya terus berlanjut dan
semakin menanjak, terutama di dunia maya. Sepertinya berita
tentang Jokowi selalu saja menarik perhatian publik dan dapat dijual oleh para
wartawan dan media.
Mungkin tidak ada yang
menyangka bahwa seorang Jokowi yang awalnya bukan berasal dari kader partai
politik yang menonjol tapi bisa menjadikan kepemimpinannya sebagai fenomena
baru bagi masyarakat Indonesia, bahkan di mata dunia. Nama Jokowi mulai
terdengar dalam kepemimpinan politik RI yang saat itu merindukan figur
alternatif, seorang pemimpin yang tidak hanya memberi janji, tetapi pemimpin
yang pandai bertindak. Pembuktian keberhasilan kepemimpinannya semasa menjabat
Walikota Solo yang menonjol yakni melakukan rebranding kota Solo, yang semula
penataannya sangat buruk dan banyak penolakan masyarakat untuk ditertibkan, kini
telah diubahnya jauh lebih baik menjadi kota yang sangat tertib.
Berita
terakhir di Tempo.co tentang Jokowi dalam menangani Ibukota Indonesia telah
menjadi sebuah berita dalam The New York Times, salah satu media berita Amerika
yang menerbitkan artikelnya pada tanggal 25 September 2013. Inti dari artikel
tersebut menjelaskan gaya Jokowi memimpin Jakarta dengan gaya “blusukan”, yakni
turun ke jalan atau terjun langsung ke lapangan, meninjau daerah-daerah pelosok
untuk mendengar aspirasi dari warganya secara langsung. Disebutkan pula dalam artikel
tersebut tentang pencapaian kerja sang Gubernur dalam kurun waktu kurang dari
satu tahun dimana diluncurkannya Kartu Jakarta Sehat, Kartu Jakarta Pintar, pembayaran
pajak online, dan program besarnya transportasi massal.
Berbicara
mengenai Kartu Jakarta Sehat atau disingkat KJS, sampai saat ini masih menjadi
topik perbincangan oleh banyak orang terutama mengenai sistem pelaksanaannya.
Persoalan baik buruknya sistem, setidaknya ada dua kubu yang menanggapi hal
ini, yakni kubu pro dan kubu kontra. Kubu pro tentunya datang dari warga DKI
jakarta yang kurang mampu, orang-orang yang peduli dengan keadilan, serta orang-orang
yang sudah merasa termudahkan adanya program ini. Sedangkan kubu kontra bisa
berasal dari pihak yang memang “tidak suka” dengan Jokowi serta dari orang yang
mendapatkan fasilitas itu tapi justru merasa dipersulit dengan sistem yang ada.
Bagaimana pun itu, seharusnya kita pahami terlebih dahulu bagaimana sistem dan tujuan
yang sebenarnya, sehingga tidak sembarang melontarkan komentar-komentar jelek
pada sebuah sistem atau program tersebut.
Perlu
pemahaman mendalam untuk menilai sistem
itu baik atau buruk. Oleh karena itu, pada bab selanjutnya akan saya uraikan
lebih dalam mengenai sistem KJS, bagaimana perencanaan, pelaksanaan yang
meliputi sistem pelayanan, kontrol atau pengawasan dan evaluasinya, serta
bagaimana analisis permasalahan dan solusi untuk keberlanjutan KJS.
1.
Perencanaan
Sistem KJS.
Kartu
Jakarta Sehat (KJS) resmi diluncurkan 10 November 2012 sebagai program Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (dalam
kepemimpinan Jokowi-Ahok) melalui UP Jamkesda Dinas Kesehatan Provinsi DKI
Jakarta kepada masyarakat dalam bentuk bantuan pengobatan. Tujuan dibuatnya KJS adalah untuk memberikan jaminan
pemeliharaan kesehatan bagi warga Provinsi DKI Jakarta terkhusus bagi keluarga
miskin dan kurang mampu dengan sistem rujukan berjenjang.
Sasaran dari program ini yakni semua
penduduk DKI Jakarta yang mempunyai KTP atau Kartu Keluarga DKI Jakarta yang belum memiliki jaminan kesehatan, diluar
program Askes, atau asuransi kesehatan lainnya. KJS bisa
dimanfaatkan antara lain untuk keperluan pengobatan sebagai berikut;
1.
Rawat Jalan diseluruh
Puskesmas Kecamatan / Kelurahan di Provinsi DKI Jakarta.
2.
Rawat Jalan Tingkat
Lanjut (RJTL) di Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) tingkat II, (RSUD, RS
vertikal dan RS Swasta yang bekerjasama dengan UP Jamkesda) wajib dengan
rujukan dari Puskesmas.
3.
Rawat Inap (RI) di
Puskesmas dan Rumah Sakit yang bekerjasama dengan UP Jamkesda di kelas III.
Adapun
persyaratan pendaftaran KJS di puskesmas harus membawa dan menunjukkan KTP dan
Kartu Keluarga Provinsi DKI Jakarta di seluruh Puskesmas Kecamatan di wilayah
yang sama dengan yang tertera pada identitas pemohon. Jadi pendaftaran di
wilayah kecamatan masing-masing, tidak di semua puskesmas.
Untuk
penggunaan KJS pada saat berobat pasien harus membawa Kartu Jakarta Sehat atau
Kartu Gakin/ Kartu Jamkesda dan jika pasien belum memiliki KJS, dapat
menunjukkan KTP dan Kartu Keluarga Provinsi DKI Jakarta. Sedangkan untuk
memperoleh fasilitas berobat gratis di
Rumah Sakit pasien diwajibkan membawa surat rujukan dari Puskesmas,
menunjukkan Kartu Jakarta Sehat / Kartu Jamkesda / Kartu Gakin dan jika belum memiliki
Kartu Jakarta Sehat cukup menunjukkan KTP dan Kartu Keluarga Provinsi DKI
Jakarta saja. Sementara untuk Unit
Gawat Darurat RS hanya menerima pasien dengan kasus emergency atau
benar-benar memerlukan penanganan cepat, serta rawat inap jika memang
disarankan oleh dokter yang merawat. Jadi alurnya dari Puskesmas, kemudian ke
RSUD jika dirujuk, lalu ke RS pemerintah seperti RSCM jika ada rujukan dari
RSUD.
2.
Pelaksanaan
KJS.
Seperti
yang kita ketahui, pada tanggal 10 November 2012 KJS resmi diluncurkan untuk
3.000 warga DKI Jakarta yang kurang mampu. Selanjutnya pada tanggal 28 Mei 2013
kembali dibagikan sebanyak 1,7juta kartu. Berbeda dengan Kartu Jakarta Pintar
(KJP) yang hanya ditujukan untuk siswa miskin saja, sasaran KJS adalah warga
miskin dan warga rentan miskin (menengah) yang diperkirakan mencapai 4,7 juta
jiwa, atau setengah dari jumlah penduduk DKI Jakarta. Jadi, warga yang cukup mampu
pun bisa memperoleh KJS dengan catatan bersedia berobat di Puskesmas atau rawat
inap di RSUD kelas tiga.
Dalam
pelaksanaan KJS, Jokowi mendapat tanggapan dari berbagai pihak, ada yang
positif dan tentunya banyak yang negatif. Keluh kesah warga pengguna KJS pun
mulai bermunculan ketika mereka merasa dipersulit atau mungkin tidak
mendapatkan pelayanan yang sesuai harapan.
Permasalahan
lain muncul setelah banyak dari Rumah Sakit yang bekerja sama dengan KJS
mengundurkan diri karena merasa dirugikan dengan sistem KJS, hingga akhirnya
DPRD DKI mengancam akan melakukan interpelasi kepada Jokowi. Setelah mereda,
lalu muncul polemik perihal mekanisme kerjasama pembayaran dengan pihak Rumah
Sakit.
Sebelumnya
Joko Widodo pernah menyampaikan mengenai prediksi bagaimana pelaksanaan sistem
KJS saat belum lama diluncurkan, (Balaikota Jakarta Minggu 9 Februari 2012).
Ia mengatakan bahwa kelemahan program
Kartu Jakarta Sehat (KJS) akan tampak pada tiga bulan ke depan. Sementara itu Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta terus melakukan pengawasan terhadap pelaksanaannya. Jokowi
juga menuturkan bahwa pemprov DKI akan melakukan pengawasan secara ketat
terhadap pelaksanaan program tersebut karena telah menelan anggaran yang cukup besar,
yakni lebih dari satu triliun rupiah. Maka, perlu dibentuk tim evaluasi,
termasuk melibatkan masyarakat untuk melakukan pengawasan agar jalannya program
tidak keluar dari kontrol. Bila evaluasi program tersebut berjalan konsisten,
menurutnya pelaksanaan KJS akan diteruskan sebagai program unggulan setiap
tahun.
3.
Evaluasi
Pelaksanaan.
Carut-marutnya
pelaksanaan sistem KJS membuat Jokowi dan jajarannya melakukan kontrol ketat
dan evaluasi terus-menerus. Mundurnya 16 RS dari sistem KJS merupakan sebuah
peringatan bagi rencana pemerintah untuk memberlakukan sistem jaminan kesehatan
yang nantinya akan diberlakukan di seluruh Indonesia. Permasalahan ini muncul
setelah dilakukan pemindahan sistem pembayaran, yang awalnya dikelola oleh
pemerintah daerah, kemudian dialihkan ke sebuah perusahaan asuransi milik
pemerintah (ASKES) yang rencananya awal tahun depan akan berubah nama menjadi
Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS).
Rumah
Sakit yang menjadi rujukan pemegang KJS berkurang, sementara pasien yang ingin
berobat justru semakin meluap. Menanggapi permasalahan ini pemprov kemudian
menggandeng RS swasta untuk terlibat dalam sistem KJS. Namun, masih terkendala
pada hitungan tarif sistem pembayaran Indonesian Case Based Groups (INA CBG's).
Jokowi
juga mengakui ada tiga permasalahan yang menyebabkan sistem KJS tidak berjalan
dengan maksimal. Ketiga permasalahan tersebut yakni, rumah sakit swasta
dianggap terlalu mengambil keuntungan atau profit oriented. Kedua, premi
sebesar Rp 23.000 yang dibayarkan dirasa masih kurang. Banyak Rumah Sakit
gandengan KJS mengeluh rugi. Kemudian permasalahan terakhir pada penggunaan
sistem Indonesian Case Basic Groups (INA CBG's), di mana obat yang digunakan
juga diatur oleh sistem INA CBG's.
Solusi
dari Wakil Gubernur mengenai masalah premi yang terlalu kecil yakni dengan
mengusahakan menaikkan premi KJS dari Rp 23.000 menjadi Rp 50.000. Mereka yakin
jika nilai premi tetap dipertahankan sebesar Rp 23.000, maka KJS sebagai pilot
project BPJS tidak akan berjalan dengan efektif. Namun Jokowi
tidak terlalu bersepakat jika menyelesaikan problem KJS dengan meningkatkan
premi menjadi Rp 50.000 per kepala. Sebab ia berpendapat jika dilakukan peningkatan
premi justru akan berdampak pada bertambahnya beban APBD. Sebenarnya ia lebih menginginkan
untuk membenahi sistemnya daripada harus menaikkan premi sebab masalahnya pun
tidak hanya berasal dari kurangnya premi tapi juga banyak masalah-masalah lain.
Sebagai
bentuk kontrol kebijakan publik, LSIN (Lembaga Survei Independen Nusantara) turut
serta dalam mengevaluasi program besarnya Jokowi-Ahok dengan melakukan
penelitian tingkat kepuasan pelanggan KJS. Setelah menganalisis data dan
konfirmasi ke pihak-pihak terkait serta kajian lanjutan, LSIN menyimpulkan
bahwa sistem pelaksanaan KJS masih berantakan, mulai dari proses pendaftaran,
layanan kesehatan, mekanisme pembayaran, hingga ketidakjelasan proyeksi KJS
mendatang.
Pada
proses kepesertaan, sebagaimana rencana Pemprov DKI bahwa penerima KJS adalah
penduduk ber-KTP DKI kategori miskin dan rentan miskin atau yang diberikan
penghargaan. Faktanya kepesertaan KJS masih banyak yang tidak tepat sasaran,
terjadi kesalahan cetak KJS, dan banyak terjadi penolakan pendaftaran. Pada tahap
awal pendaftaran kepesertaan KJS, Pemprov DKI menggunakan data penduduk miskin
BPS tahun 2011, kemudian proses pendaftaran dirubah dengan cukup mendaftarkan
diri ke Puskemas terdekat dengan pola proaktif masyarakat.
Lalu,
pada tataran pelaksanaan, sistem layanan kesehatan juga masih banyak
kekurangan, terjadi penolakan pihak RS dan 16 RS yang kemudian mengundurkan
diri untuk kerjasama sudah menjadi bukti. Buruknya kerjasama Pemprov dengan RS
dan minimnya sosialisasi cara berobat berdampak pada pelayanan kesehatan yang
tidak maksimal. Layanan kesehatan sering tidak diberikan secara tuntas terhadap
pasien. Warga juga belum memahami mekanisme layanan yang diterapkan dalam
sistem KJS. Selain itu, program layanan KJS juga tidak memiliki dasar perencanaan yang panjang, sehingga timbul
pertanyaan bagaimana KJS mendatang dan akan menjadi apa KJS itu?.
Ambivalensi
sistem layanan kesehatan juga terjadi dimana sistem KJS dan BPJS berbaur dalam
sebuah layanan kesehatan. Dampaknya sistem layanan kesehatan di DKI Jakarta
menjadi berantakan. Bergabungnya KJS dan BPJS bisa berpotensi pada terjadinya
penyelewengan anggaran, dikarenakan BPJS merujuk pada APBN sementara KJS
merujuk pada APBD. Jika buruknya sistem layanan kesehatan yang diterapkan
Pemprov DKI terus dijalankan maka akan menghasilkan layanan kesehatan yang
kurang baik, yang korbannya adalah penduduk DKI sendiri.
Oleh
karena itu, dalam rangka menyempurnakan sistem KJS, pemprov DKI melakukan
sejumlah evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan. Perbaikan pertama yang
perlu dilakukan adalah sistem rujukan. Sistem rujukan akan dibuat dalam 3
tahap. Pengguna KJS harus berobat melalui Puskesmas terlebih dahulu, jika
kemudian diperlukan dirujuk kembali Puskesmas akan merujuk ke RSUD dan
selanjutnya ke RS Swasta jika diharuskan. Perbaikan yang kedua adalah pada
audit medis dan rujukan untuk mengantisipasi terjadinya penumpukan pasien di
suatu Rumah Sakit. Ketiga, perbaikan mekanisme pembayaran, yakni dengan menyiapkan
aplikasi tagihan online sehingga pengeluaran biaya akan tercover dengan baik
dan cepat. Sedangkan perbaikan keempat, yakni menambah tempat tidur kelas 2 dan
memaksimalkan call center (119) untuk layanan informasi kesehatan secara online.
Langkah
lainnya yang ditempuh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam rangka mendukung
perbaikan sistem KJS diantaranya adalah mengadakan pelatihan sistem pola pembayaran KJS. Pelatihan ini bekerjasama
dengan PT Askes untuk menerapkan mekanisme pembayaran baru, dengan menggunakan
pola pembayaran nasional. Langkah selanjutnya Pemprov DKI bekerjasama dengan FK
UI dan RSCM dalam pembuatan Pergub pelaksanaan sistem online dan untuk
pelaksanaan pelayanan call centre. Dengan langkah-langkah perbaikan
tersebut diharapkan nantinya tidak ada lagi warga yang tidak memahami sistem
KJS dan tidak ada lagi penyalahgunaan dari pihak Rumah Sakit maupun pengguna
KJS.
1.
Analisis
Baik-buruknya sistem
KJS ternyata banyak menimbulkan pengaruh yang cukup besar bagi masyarakat luas.
Apalagi pemerintah berencana memberlakukan sistem jaminan kesehatan di seluruh
Indonesia, pasti akan banyak sekali tanggapan yang bermunculan. Melihat KJS
yang masih dalam lingkup provinsi saja cukup amburadul, bagaimana nanti jika
diterapkan untuk seluruh indonesia?
a. Pangkal
permasalahan KJS.
Problematika KJS
mulai tampak ketika bulan maret 2013 dilakukan pemindahan sistem pembayaran,
yang tadinya langsung dikelola oleh pemerintah daerah dialihkan kepada PT Askes
yang akan berganti nama menjadi Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS). Dengan
kata lain KJS bergabung dengan BPJS. Bisa juga dikatakan bahwa pemerintah daerah
sedang melakukan apa yang dikenal dengan jebakan struktur sistem, atau
pergeseran tanggung jawab. Mungkin mereka beranggapan jika tanggungjawab
diserahkan kepada asuransi perhitungannya akan lebih mudah dan jelas,
berdasarkan premi per orang. Terlebih perusahaan itu menjamin tidak ada
masalah.
Ternyata, dibalik
kemudahan transaksi pihak asuransi mengeluarkan sebuah taktik dalam menghitung
premi tersebut, yang dikenal dengan sistem INA CBG’s. Ini merupakan
pengelompokan atau paket tarif layanan kesehatan berdasarkan diagnosanya. Namun
perlu diketahui bahwa biaya operasional RS swasta dan RS pemerintah berbeda. RS
Swasta tentu harus menanggung sendiri biaya operasionalnya, sedangkan RS
Pemerintah biaya operasional disubsidi. Tarif premi yang dibayarkan oleh INA CBG’s dianggap terlalu
murah yakni sebesar Rp 23.000 per kepala. Tentunya, pihak swasta juga
berorientasi pada profit. Sedangkan untuk menaikkan tarif premi dari 23.000 ke
50.000 Pemprov DKI tidak akan kuat, butuh bantuan dana APBN. Persoalan tarif
inilah yang juga harus dipertimbangkan baik-baik demi kelancaran pelayanan RS
kepada pengguna KJS.
Berbicara mengenai
permasalahan kategorisasi pemegang KJS yang dinilai tidak tepat sasaran, KJS
memang sebuah kebijakan yang berbeda dengan KJP dimana sasarannya hanya untuk
kategori miskin saja. Kebijakan KJS tidak demikian, sasaran yang sebenarnya
adalah warga kategori miskin dan rentan miskin. Tetapi pada kenyataan saat ini,
siapapun warga yang ber-KTP DKI Jakarta bisa mendapatkan layanan kesehatan gratis
tanpa memandang miskin atau mampu. Kriteria lainnya hanyalah kriteria “malu
atau tidak”. Jika ada orang kaya dan merasa tidak malu untuk menggunakan
fasilitas ini maka diperbolehkan. Dengan sistem seperti ini mengakibatkan
jumlah pasien meluap di RS gandengan KJS. Hal ini mungkin disebabkan karena
banyak orang berfikir “mumpung gratis” maka mereka yang justru dari golongan
mampu secara rutin berobat ke Puskesmas ataupun Rumah Sakit. Ini yang
menjadikan KJS itu kurang tepat sasaran, karena warga mampu pun bisa
mendapatkan fasilitas tersebut. Jadi, bisa diasumsikan dalam memperoleh
fasilitas ini, kelompok miskin harus bersaing dengan kelompok mampu yang
notabenenya bisa membayar sendiri.
Pada
tahapan pendaftaran di Puskemas, sangat disayangkan bahwa prosesnya tidak
dibarengi dengan tim surveyor atau verifikator untuk menentukan apakah layak
untuk mendapatkan KJS atau tidak. Pemerintah Provinsi DKI memang menggandeng PT
Askes sebagai mitra untuk kepesertaan, namun saya rasa itu hanyalah sebatas
mencegah adanya peserta ganda atau double identity. Sistem ini yang menimbulkan
asusmsi bahwa KJS tidak tepat sasaran, tidak mengutamakan warga miskin dan
rentan miskin.
b. Upaya
perbaikan sistem.
Berbagai
upaya perbaikan yang akan segera dilakukan sebagai bentuk evaluasi sistem KJS
diantaranya adalah menambah ruangan Rumah Sakit karena jumlah RS yang menjadi
mitra berkurang, sehingga terpaksa ruangannya harus ditambah. Rencana
penghapusan kelas rumah sakit juga akan segera dilakukan, agar tidak ada
diskriminasi pasien. Saat ini, Rumah Sakit digolongkan berdasarkan
kemampuan mereka memberikan pelayanan medis. Ada rumah sakit kelas A, B, C, dan
D. Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) contohnya, merupakan rumah sakit
dengan tipe tertinggi karena dapat menangani pasien dengan kasus-kasus yang
berat. Sedangkan golongan di bawahnya adalah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
yang memiliki dokter spesialis. Nah, perbedaan kelas rumah sakit itu
dimungkinkan dapat memunculkan ketidakadilan dalam klaim tarif INA-CBG's.
Sebab. Dengan kata lain tipe rumah sakit akan memengaruhi besaran tarif klaim.
Rencana
perbaikan lain yang sangat penting yakni audit pengelolaan anggaran
program KJS oleh BPK yang baru akan dilaksanakan pada tahun 2014 untuk
menilai pelaksanaan KJS. Audit tersebut bukan hanya meneliti kemungkinan
terjadinya kecurangan, tetapi juga untuk menemukan kekurangan dalam pelaksanaan
program KJS tahun 2013. Dengan adanya audit dari BPK diharapkan akan terlihat
jelas bagaimana pengelolaan anggarannya, bagaimana penggunaannya apakah sudah
tepat atau belum, serta kekurangan lain sehingga dapat diperbaiki dan
ditingkatkan lagi sistem layanannya.
Guna mengatasi
permasalahan kurangnya RS mitra dan ruangannya,
Jokowi berencana akan segera menggulirkan program dokter pribadi atau
dokter keluarga. Dengan begitu diharapkan problem membludaknya jumlah pasien pemegang Kartu
Jakarta Sehat (KJS) di sejumlah rumah sakit tidak terulang kembali. Dokter
pribadi ini nantinya akan bekerjasama dengan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan
Fakultas Kedokteran UI. Sistemnya, orang yang sakit berobat ke dokter pribadi
dulu, jika belum cukup maka baru disarankan untuk pergi ke Puskesmas atau RS.
Jika program ini sudah berjalan, diperkirakan akan pasien yang menumpuk di RS
akan turun drastis. Sehingga warga pemegang KJS tidak perlu lagi berdesak-desak
di Rumah Sakit, namun cukup di rumah saja dokter akan datang. Rencananya dokter
pribadi itu akan dilaksanakan per kelompok wilayah. Sedangkan untuk
peruntukannya, program ini hanya untuk masyarakat miskin DKI Jakarta dengan perbandingan
1 : 2500. Jadi 1 dokter akan ditempatkan dalam sebuah pemukiman yang memiliki
penduduk sekitar 2.500 orang.
Walaupun banyak
pihak terutama DPRD DKI Jakarta menilai KJS berantakan, namun organisasi
kesehatan dunia World Health Organization (WHO) yang berada dibawah PBB,
menilai pelaksanaan sistem KJS
cukup baik. WHO
memberikan dukungan penuh terhadap pelaksanaan KJS terutama bagi warga yang
tidak mampu di Jakarta. WHO mengharapkan
program KJS tersebut dapat menjadi contoh model pelaksanaan layanan kesehatan
gratis di seluruh Indonesia, jadi tidak hanya untuk Jakarta saja. Sebagai
organisasi kesehatan dunia, mereka melihat KJS dari semua aspek, mulai dari
perencanaan, layanan, dokter, obat hingga pembayaran biaya perawatan dan obat
kepada pihak rumah sakit, serta aspek-aspek lainnya. Sementara ini WHO belum
memberikan kritikan untuk KJS karena dinilai sistemya cukup baik.
2.
Solusi
dan kesimpulan
Melihat kenyataan banyaknya
permasalahan yang muncul setelah satu tahun pelaksanaan Kartu Jakarta Sehat,
maka diperlukan sekali evaluasi secara menyeluruh untuk mengetahui dengan pasti
apa saja kelemahan kan kelebihan di setiap tahapan. Mulai dari tataran
perencanaan, semestinya dilakukan peninjauan ulang, dari persiapan program,
sosialisasi program dan prosedurnya, perencanaan sasaran pemegang KJS, rencana
gandeng RS, antisipasi meluapnya pasien, penentuan tarif premi tiap bulannya untuk
per kepala, dan lain sebagainya. Selanjutnya analisis pelaksanaan mulai dari
pendaftaran pasien, sistem pelayanan, sistem pembayaran, penggunaan prosedur,
dan pelaksanaan lainnya yang juga perlu diperhatikan. Sedangkan pada tataran
evaluasi yang perlu dikaji adalah bagaimana sistem pengawasan yang sudah
dilakukan, jika memang belum baik lakukan sistem pengawasan baru yang lebih
efektif sehingga dapat menontrol segala kegiatan pelaksanaannya. Dengan
dilakukan peninjauan ulang secara detail saya yakin akan muncul banyak bahan
evaluasi dan perbaikan untuk kelanjutan pelaksanaan sistem.
Mengenai sulitnya penentuan
tarif premi, seyogyanya Pemprov DKI segera melakukan komunikasi, dengan pendekatan
kepada pihak terkait seperti warga pengguna KJS, RS pemerintah, RS swasta, dan
pihak BPJS untuk merundingkan besaran premi yang tepat. Hal ini sangat penting
dilakukan supaya masalah-masalah seperti RS merasa rugi sedangkan BPJS yang
diuntungkan, perbedaan golongan RS, penyalahgunaan KJS oleh warga dan lain
sebagainya tidak lagi ada. Perlu juga dilakukan uji coba mekanisme pembayaran yang
baru (INA CBG's) sehingga dapat diketahui kekurangan dan kelebihan dari sistem
pembayaran tersebut. Setelah diketahui permasalahannya lalu perbaiki secara
berkala. Selain itu, sebagai perbaikan sistem kontrol Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta juga sebaiknya membuat tim surveyor untuk ditempatkan di beberapa
titik, puskesmas, RS swasta dan RS pemerintah untuk melakukan pengawasan pada pelaksanaan
sistem KJS supaya jalannya tidak keluar dari jalur.
Di balik banyaknya
tanggapan negatif yang bermunculan, sebenarnya banyak tanggapan positif sebagai
dukungan pada sistem KJS ini, bahkan mungkin lebih banyak jika dibandingkan
yang negatif. Wajar saja jika yang ditonjolkan adalah kekurangan dan keburukan
sistem, namanya juga dalam dunia politik pasti ada pihak-pihak yang kontra.
Banyak sekali warga DKI Jakarta yang mendukung program ini, jarang sekali
ditampilkan k publik. Namun jika ada satu saja yang berkomentar buruk, pasti
akan muncul di berbagai media. Namanya media sudah pasti akan mencari yang
lain, yang laris jika dijual. Maka di balik ketenaran nama Jokowi, akan selalu
dicari sisi kelemahannya, termasuk pada pelaksanaan sistem KJS ini.
Jika dinilai secara
keseluruhan sebenarnya sistem KJS ini sangatlah baik, karena pada dasarnya
perencanaan sebuah sistem tidak ada yang tidak baik. Hanya saja jika sistem
diterapkan untuk wilayah yang luas dengan banyak sekali komponen di dalamnya
maka tentu saja pelaksanaan dan evaluasinya menjadi sangat ruwet. Dibutuhkan
banyak pihak untuk mendukung keberhasilan program ini, tidak hanya Jokowi-Ahok
dan jajarannya tetapi juga pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat
secara luas. Pemprov DKI sudah sangat baik memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
kepada warganya untuk memperoleh jaminan kesehatan dengan KJS, namun banyak
pihak yang belum mau turut serta dalam menyukseskan sistemnya, seperti RS
swasta yang masih mempermasalahkan besaran premi.
Referensi:
Jakarta, Aktual.com —Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) membantah kurangnya sosialisasi Kartu Jakarta Pinta (KJP). Hal itu terkait dengan antrean warga yang hendak mencairkan KJP di beberapa wilayah.
BalasHapus“Bukan kurang sosialisasi, ini tuh persoalannya otaknya sudah biasa mencuri duit pakai mau narik cash melulu terus ribut, saya sih diemin saja,” kata Ahok di Balaikota, Jumat (31/7).
KJP Dinilai Kurang Sosialisasi, Ahok Sebut Warga Jakarta Miliki ‘Otak Pencuri’