PENERAPAN PARADIGMA EMPAT PILAR PENDIDIKAN (UNESCO) DALAM MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK (PBL) UNTUK MENINGKATKAN SOFT SKILLS LULUSAN SMK
Disusun oleh Singgih
Subiyantoro
A. Pendahuluan
Pendidikan kini menjadi tolok ukur
kualitas suatu bangsa. Lalu, bagaimana dengan kondisi pendidikan Indonesia?
Berdasarkan hasil survei PERC lembaga konsultan dari Hongkong, pendidikan
Indonesia menempati peringkat terendah dari 12 Negara di Asia Tenggara. Korea
Selatan dan Singapura mendapati peringkat teratas.
Berbicara mengenai permasalahan pendidikan,
maka kegiatan pembelajaran di dalam kelas menjadi faktor yang sangat esensial
untuk dikaji dan dievaluasi serta dirancang ataupun diperbaiki kembali untuk
tercapainya tujuan pendidikan. Di abad ke-21 ini pendidikan seharusnya mampu
mengarahkan pebelajar agar dapat beradaptasi dalam situasi baru yang muncul
dalam diri dan lingkungannya. Pada kondisi seperti itu maka diperlukan
kemampuan untuk belajar bagaimana belajar (learning
how to learn) dan belajar sepanjang hayat (life long education)
Sementara itu, Lasmawan (I Gusti
Bagus Wacika, dkk: 2013) berpendapat bahwa pendidikan yang relevan harus
bersandar pada empat pilar pendidikan yaitu (1) learning to know, yakni pebelajar mempelajari pengetahuan, (2) learning to do, yakni pebelajar menggunakan
pengetahuannya untuk mengembangkan keterampilan, (3) learning to be, yakni pebelajar belajar menggunakan pengetahuan dan
keterampilannya untuk hidup, dan (4) learning
to live together, yakni pebelajar belajar untuk menyadari bahwa adanya
saling ketergantungan sehingga diperlukan adanya saling menghargai antara
sesama manusia.
Berdasarkan pendapat tersebut maka pendidikan
saat ini diharapkan mampu membekali setiap pebelajar dengan pengetahuan,
keterampilan, serta nilai-nilai dan sikap, dimana proses belajar bukan
semata-mata mencerminkan pengetahuan (knowledge – based) tetapi mencerminkan
keempat pilar pendidikan. Dengan memperhatikan keempat pilar pendidikan
tersebut, diharapkan banyak kompetensi-kompetensi yang dapat dikembangkan yang
berguna bagi kehidupan peserta didik dimasa depan, seperti kompetensi
keagamaan, ekonomi, sosial, dan soft
skills.
Soft skills kini
menjadi hal yang sangat penting untuk dimiliki setiap pebelajar guna mempersiapkan
diri menghadapi era globalisasi. Dengan dibekali soft skills diharapkan pebelajar nantinya lebih mudah untuk
beradaptasi dengan dunia luar (lingkungan masyarakat dan dunia kerja). Pengembangan
soft skills dapat dilakukan dengan
pembiasaan dan dapat diajarkan di lembaga pendidikan formal, informal maupun
non formal. Dalam pengembangannya, dibutuhkan sebuah desain pembelajaran yang
disusun sedemikian rupa sehingga dapat merangsang atau memperkuat soft skill
yang dimiliki pebelajar. Desain pembelajaran dalam hal ini meliputi pemilihan
pendekatan, model strategi dan metode-metode pembelajaran yang tepat, yang
sesuai dengan peserta didik maupun karakteristik bidang studi. Menurut penulis,
salah satu model pembelajaran yang cocok untuk menerapkan empat pilar
pendidikan untuk dapat meningkatkan dan menguatkan soft skills lulusan SMK
adalah model pembelajaran berbasis proyek (project
based learning). Dengan menggunakan model ini, pebelajar dikondisikan untuk
belajar dengan kenyataan, dengan kerja nyata.
Pada makalah ini akan dibahas
mengenai makna empat pilar pendidikan yang dicanangkan UNESCO, model
pembelajaran berbasis proyek (project
based learning) dengan penerapan empat pilar pendidikan, serta penerapan
paradigma empat pilar pendidikan untuk meningkatkan soft skills lulusan SMK.
B. Pembahasan
1. Makna Empat Pilar Pendidikan (UNESCO)
a. Learning to know (belajar mengetahui)
Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha untuk
mencari agar mengetahui informasi yang dibutuhkan dan berguna bagi kehidupan.
Belajar untuk mengetahui (learning to know) dalam prosesnya tidak sekedar mengetahui
apa yang bermakna tetapi juga sekaligus mengetahui apa yang tidak bermanfaat
bagi kehidupannya. Soetarno (2011: 15) berpendapat bahwa penekanan learning to
know adalah pada penguasaan alat belajar bagi seluruh peserta didik. Jadi pembelajaran
tidak semata-mata dilihat dari pemerolehan pemahaman saja.
Di
dalam konsep learning to know
pendidik harus mampu berperan sebagai informator, organisator, motivator,
diretor, inisiator, transmitter, fasilitator, mediator, dan evaluator bagi
siswanya, sehingga peserta didik perlu dimotivasi agar timbul kebutuhan
terhadap informasi, keterampilan hidup, dan sikap tertentu yang ingin
dikuasainya. Dalam
penerapannya, selain guru harus mampu menempatkan dirinya sebagai fasilitator, guru
juga dituntut untuk dapat berperan ganda sebagai kawan berdialog bagi siswanya
dalam rangka mengembangkan penguasaan pengetahuan siswa.
b.
Learning to do (belajar melakukan sesuatu)
Pendidikan juga merupakan proses belajar untuk dapat
melakukan sesuatu (learning to do). Proses belajar menghasilkan perubahan dalam
ranah kognitif, peningkatan kompetensi, serta pemilihan dan penerimaan secara
sadar terhadap nilai, sikap, penghargaan, perasaan, serta kemauan untuk berbuat
atau merespon suatu stimulus. Pendidikan membekali manusia tidak sekedar untuk
mengetahui, tetapi lebih jauh untuk terampil berbuat atau mengerjakan sesuatu
sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan.
Soetarno dalam bukunya “ pembelajaran efektif”
menambahkan bahwa makna learning to do adalah
agar pembelajaran menekankan perlunya pengembangan inovasi.
Pengalaman-pemngalaman belajar yang terkait hal ini adalah menumbuhkan
kemampuan bekerja secara tim, pengembangan jaringan, membangun kemitraan,
kreativitas, kemampuan pemecahan masalah, serta pengambilan sebuah keputusan.
Konsep
learning to do juga dapat kita artikan
bahwa siswa dilatih untuk sadar dan mampu melakukan suatu perbuatan atau
tindakan produktif dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Berkaitan dengan
hal tersebut maka proses belajar-mengajar perlu didesain secara aplikatif agar
keterlibatan peserta didik, baik fisik, mental dan emosionalnya dapat
terakomodasi sehingga mencapai tujuan yang diharapkan.
Sekolah dan lembaga pendidikan lainya sebagai wadah
masyarakat belajar seyogyanya memfasilitasi siswanya untuk mengaktualisasikan
keterampilan yang dimiliki, serta bakat dan minatnya agar learning to do dapat terrealisasi. Walau sesungguhnya bakat dan
minat anak dipengaruhi faktor keturunan namun tumbuh dan berkembangnya bakat
dan minat juga bergantung pada lingkungan. Seperti kita ketahui bersama bahwa
keterampilan merupakan sarana untuk menopang kehidupan seseorang bahkan
keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan semata.
c.
Learning to be (belajar menjadi sesuatu)
Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan
bagian dari proses menjadi diri sendiri (learning to be). Hali ini erat sekali
kaitannya dengan bakat, minat, perkembangan fisik, kejiwaan, tipologi pribadi
anak serta kondisi lingkungannya. Menjadi diri sendiri diartikan sebagai proses
pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai dengan
norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi orang yang
berhasil, sesungguhnya merupakan proses pencapaian aktualisasi diri.
Konsep
learning to be, perlu di pahami oleh pendidik
dan praktisi pendidikan untuk melatih siswa agar mampu memiliki rasa percaya
diri yang tinggi. Percaya diri bisa menjadi modal utama bagi siswa untuk hidup
dalam masyarakat. Pengembangan diri, cara pandang, dan cara berpikir dianggap paling
baik dalam menghadapi berbagai lingkungan yang berbeda dalam hidup manusia.
Pendidikan merupakan sarana pengembangan sumber daya manusia, dalam prosesnya
bersifat individual yakni dalam diri pebelajar tetapi juga sekaligus sebagai
proses membentuk pengalaman berinteraksi dengan orang lain.
d.
Learning to live together (belajar hidup bersama)
Pada pilar keempat ini, kebiasaan hidup bersama,
saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima perlu dikembangkan disekolah.
Kondisi seperti inilah yang memungkinkan tumbuhnya sikap saling pengertian
antar ras, suku, dan agama.
Dengan kemampuan yang dimiliki, dapat dijadikan
sebagai bekal untuk mampu berperan dalam lingkungan di mana individu tersebut
berada, dan sekaligus mampu menempatkan diri sesuai dengan perannya. Pemahaman
tentang peran diri dan orang lain dalam kelompok belajar merupakan bekal dalam
bersosialisasi di masyarakat (learning to live together). Untuk itu, pendidikan
di Indonesia harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan
profesional serta sikap, kepribadian dan moral. Dengan kemampuan dan sikap
manusia Indonesia yang demikian maka pada gilirannya akan menjadikan masyarakat
Indonesia masyarakat yang bermartabat di mata masyarakat dunia.
Konsep
learning to live together tumbuh
karena perlunya kerjasama dalam menyelesaikan proyek-proyek kolaboratif. Dengan
demikian diharapkan dapat menjadi cara yang efektif untuk mencegah munculnya
suatu konflik. Tugas pendidik terkait dengan pilar ini adalah menumbuhkan
kesadaran peserta didik tentang keberagaman dalam masyarakat dan menanamkan
rasa saling ketergantungan antar sesama manusia (aspek sosial).
2. Model Pembelajaran Berbasis Proyek dengan Penerapan Empat Pilar Pendidikan
Pendidikan yang berfokus
hanya pada isi atau hasil, kini sudah seharusnya bergeser pada proses. Saat ini
kontrol pembelajaran tidak lagi berpusat pada guru atau pendidik melainkan pada
peserta didik (student centered learning) yang mana mereka aktif
mengkonstruksikan ilmu pengetahuan (konstruktivistik), sehingga penekanan bukan
lagi hanya pada teori melainkan juga pada bagaimana suatu pekerjaan dikerjakan.
Project based learning merupakan
salah satu bentuk model pembelajaran yang menggunakan pendekatan student centered learning. Model
pembelajaran ini lebih menekankan proses, proyek atau karya dari peserta didik
ketimbang hasil. Menurut Thomas, sebagaimana dikutip oleh Wena (2009: 144)
pembelajaran berbasis proyek merupakan model pembelajaran yang memberikan
kesempatan kepada guru untuk mengelola pembelajaran di kelas dengan melibatkan
kerja proyek. Hal ini banyak digunakan untuk menggantikan metode pengajaran
tradisional dimana guru sebagai pusat pembelajaran. Boondee et al dalam Rosyidatul
Munawaroh, dkk (2013: 2).
Rosyidatul
Munawaroh, dkk (2013: 2) memaparkan hasil penelitian mengenai penerapan PBL
yang dilakukan oleh Thomas di tahun 2000 yang menunjukkan bahwa hasil belajar
siswa menggunakan model Project Based Learning naik hampir 26%
dibandingkan sekolah kontrol dan ada peningkatan yang signifikan kemampuan memecahkan
suatu masalah antara pre-tes dan post-tes untuk kelas eksperimen menggunakan
model Project Based Learning. PBL mampu meningkatkan motivasi siswa dan
memberikan gambaran tersendiri dalam semua tingkatan
Pembelajaran
berbasis proyek (PBL) yang terdiri proyek yang mengintegrasikan ilmu
pengetahuan, teknologi, masyarakat, sejarah, matematika, politik dan kesempatan
diskusi produktif untuk siswa, mendorong penyelidikan siswa diarahkan masalah
dunia nyata, memberikan mereka semangat belajar dan pengajaran menjadi efektif
(Turgut,2008:61).
Selanjutnya
ada penemuan bahwa pembelajaran berbasis proyek dapat meningkatkan hasil
belajar siswa, meningkatkan aktivitas dan keterlibatan siswa dalam karya siswa,
lebih menyenangkan, bermanfaat serta lebih bermakna (Purworini, 2006: 19). Hal
ini diperkuat oleh penelitian Wiyarsi & Partana (2009:40) yang menyimpulkan
bahwa penerapan pembelajaran berbasis proyek cukup efektif dalam meningkatkan
aspek kemandirian, aspek kerja sama kelompok, dan aspek penguasaan psikomotorik.
Dari
beberapa pendapat dan hasil penelitian mengenai kebermanfaatan model PBL, maka
model ini kiranya memberikan kesempatan kepada siswa
untuk meningkatkan proses dan hasil belajar siswa dalam
membangun empat pilar pembelajaran, karena
pemahaman siswa dapat meningkat melalui
proses bekerja ilmiah (learning to
do) yang dilakukan secara kolaboratif (learning to live together), sehingga kemandirian belajar pada siswa akan tercapai (learning
to be).
Dalam model project based learning
belajar mengetahui (learning to know) sangat dibutuhkan karena peserta
didik dituntut aktif dalam kegiatan belajar lapangan dan desain belajar ini
merupakan desain yang interaktif dan melibatkan semua domain pembelajaran yaitu
kognitif, afektif, maupun psikomotor.
Pebelajar dituntut untuk aktif dalam memecahkan masalah belajar dalam situasi
nyata untuk meningkatkan pengetahuan dan prestasinya. Dengan model
pembelajaran ini (learning to know) akan terus
berkembang karena belajar secara langsung akan lebih mudah dipahami
pebelajar.
Penerapan pilar kedua (learning to do) dalam PBL yakni balajar untuk menguasai keterampilan dan
kompetensi kerja. Kompetensi ini akan terus meningkat hingga profesional. Learning to do sangat dibutuhkan dalam project based learning untuk membekali peserta didik dalam
mempersiapkan diri memasuki dunia kerja, karena peserta didik belajar bukan
hanya secara teori melainkan praktek di lapangan. Model project based learning
memiliki potensi yang besar untuk membuat pengalaman belajar yang menarik dan
bermakna bagi mahasiswa untuk memasuki lapangan kerja maka dari itu ketrampilan
berkarya sangat di perlukan.
Pilar yang ke 3 (learning to live together) dalam PBL dimaksudkan agar peserta didik mampu berinteraksi,
bekerja dalam tim, berkomunikasi dengan orang lain dan hidup bersama antar
kelompok. Tiap kelompok pasti memiliki latar belakang yang berbeda, baik itu pendidikan,
kebudayaan, tradisi, maupun tahap perkembangan yang berbeda, agar bisa
bekerjasama dan hidup rukun, mereka harus banyak belajar bagaimana hidup
bersama.
Sedangkan pilar yang ke 4 (learning
to be) di dalam model pembelajaran ini lebih menekankan pada bagaimana
peserta didik dituntut banyak belajar
mengembangkan seluruh aspek kepribadiannya dalam rangka menjadikannya manusia
yang utuh, baik aspek intelektual, emosi, sosial, fisik, maupun moralnya.
Berdasarkan
penjelasan-penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa model project based
learning (PBL) merupakan salah satu model pembelajaran yang kiranya cocok untuk
diterapkan pilar-pilar pendidikan dimana model ini juga memberikan kesempatan
yang luas bagi peserta didik dalam mengembangkan kemampuan hard skill maupun soft skill.
3. Penerapan Paradigma Empat Pilar Pendidikan untuk Meningkatkan Soft Skills Lulusan SMK
Pencapaian dari hasil belajar sebagai
hasil pengembangan intelektual atau kognitif siswa harus juga diimbangi dengan
pencapaian dan perkembangan pada aspek soft skill (afektif) siswa.
“Konsep soft skill” maksudnya tidak lain adalah karakter atau sikap dan
perilaku yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemuliaan, seperti kejujuran,
kesabaran, keberanian, kemandirian, tanggung jawab, kepedulian dan lain-lain”
(Marzuki, 2012). Menurut Muqowim (2011:10) “Soft skills adalah kemampuan
mengelola diri secara tepat dan kemampuan membangun relasi dengan orang lain
secara efektif”.
Setiap guru atau pendidik hendaknya
mampu mengintegrasikan soft skills dalam proses pembelajaran sehingga
siswa mampu mengasah dan mengembangkan kemampuan soft skills secara
rutin. Adanya pembelajaran terpadu antara hard skills dan soft skills
sangatlah diharapakan keberadaannya karena kemampuan soft skills tidak
kalah pentingnya dengan kemampuan hard skills. Melalui strategi pembelajaran
yang tepat, soft skills menjadi hal yang mungkin dapat diintegrasikan
dalam proses pembelajaran sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan soft skillnya.
Soft skill meliputi
kemampuan intrapersonal dan kemampuan interpersonal seseorang. Contoh dari intrapersonal
skills adalah time management,
stress management, change
management, transforming beliefs, transforming character, creative thinking
processes, goal setting and life purpose, dan accelerated learning technicques. Sedangkan interpersonal
skills, contohnya adalah; motivation
skills, leadership skills,
negotiation skills, presentation skills, communication skill,
relationship building, public speaking skills, dan self-marketing skills.
Dari berbagai macam soft skills ini sebagian besar tidak
diajarkan secara langsung di dalam mata pelajaran atau dalam kurikulum. Akan
tetapi, soft skill ini dapat di sisipkan ke dalam pembelajaran sehari-hari di
kelas. Tentu saja guru adalah orang yang paling berperan dalam menjembatani
atau menyalurkannya kepada siswa. Di dalam penerapannya, agar soft skill dapat
berkembang dengan baik maka diperlukan sebuah rancangan pembelajaran yang
benar-benar dapat di sisipi beragam skill itu, tentunya adalah desain
pembelajaran yang mengedapankan empat pilar pendidikan. Lalu desain seperti apa
yang tepat untuk diterapkan dalam pembelajaran SMK? Dalam hal ini penulis
menyarankan penggunaan model pembelajaran project
based learning (PBL). Asumsinya adalah PBL merupakan model pembelajaran
nyata, kerja langsung sehingga akan sangat cocok dengan tujuan dari SMK yang
mengedepankan praktek dibanding teori. Dengan pembelajaran praktek ini tentunya
akan sangat meningkatkan hard skill siswa. Namun, soft skill juga akan ikut
berkembang dengan baik asalkan pembelajarannya dirancang sedemikian rupa
sehingga siswa mendapat kesempatan luas dalam mengembangkan soft skillnya.
PBL menggunakan pendekatan student learning centered yang mana
memposisikan peserta didik sebagai kontrol utama dalam pembelajaran. Dengan
pendekatan ini, diharapkan siswa akan lebih berkembang kemampuan hard dan soft
skillnya. Salah satu model dari pendekatan ini yang menurut penulis cocok untuk
mengembangkan soft skill lulusan SMK adalah “ project based learning”. Kaitannya dengan paradigma empat pilar
pendidikan UNESCO, model pembelajaran project
based learning menyediakan ruang yang seluas-luasnya untuk dapat menguatkan
soft skills lulusan SMK.
Kaitannya dengan paradigma empat
pilar pendidikan UNESCO, model pembelajaran project
based learning menyediakan ruang yang seluas-luasnya untuk dapat menguatkan
soft skills lulusan SMK. Misalnya dalam pembelajaran sekretaris. Bila pembelajaran sekretaris diterapkan dengan model ini, siswa akan diajak untuk terjun langsung
ke lapangan (magang) bagaimana menjadi seorang sekretaris di sebuah perusahaan
misalnya. Dengan demikian akan banyak kemampuan yang didapat oleh siswa, baik
itu soft skill maupun hard skill. Soft skill yang dapat diperoleh misalnya time
management (learning to know), creative thinking proccess, problem solving (learning
to do), relationship building
(learning to live together), kemandirian (learning to be). Sedangkan hard skill yang diperoleh peserta
didik tentunya adalah keterampilan menulis.
Dari contoh diatas sudah bisa ditarik
kesimpulan bahwa banyak soft sklill yang diperoleh ketimbang hard skill. Dengan
begitu maka model ini dapat dikatakan tepat untuk mengembangkan soft skill
lulusan.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Dengan mengaplikasikan pilar-pilar
tersebut, diharapkan pendidikan yang berlangsung di Indonesia dapat menjadi
lebih baik. Perancangan pembelajaran yang sesuai akan sangat menunjang
penguatan soft skill siswa. PBL dapat dijadikan sebagai alternatif model
pembelajaran yang menerapkan empat pilar pendidikan dengan tujuan utamanya
adalah menguatkan soft skill siswa. Dengan PBL dan empat pilar ini diharapkan
lulusan SMK memperoleh lebih banyak soft skill untuk bekal menghadapi dunia
kerja.
2. Saran
Untuk peserta didik, pendidik maupun
tenaga kependidikan, mari kita memulai mengintrospeksi diri masing-masing,
sudah sejauh mana kita berbuat untuk pendidikan di negeri kita ini, mulailah
melakukan perubahan-perubahan kecil dan perbaikan terhadap persoalan pendidikan
yang bertahun-tahun melilit negeri ini. Kembangkan diri melalui
pelatihan-pelatihan soft skills agar
kita mampu bersaing dan bergumul dengan masyarakat luar.
DAFTAR PUSTAKA
Dayan
Maulana. (2010). Empat Pilar Pendidikan Menurut Unesco. Diambil dari situs http://dayanmaulana.blogspot.com/2010/06/empat-pilar-pendidikan-menurut-unesco.html
pada tanggal 15 Oktober 2013.
I Gusti Bagus
Wacika, dkk. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Terhadap Hasil Belajar
IPS Ditinjau dari Sikap Sosial dalam Pembelajaran IPS pada Siswa Kelas V di SDN
4 Panjer. e-Journal Universitas
Pendidikan Ganesha, 1 (3): 2
Purworini.
(2006). Pembelajaran Berbasis Proyek sebagai Upaya Mengembangkan Habit of Mind.
Jurnal Pendidikan Inovatif, 1 (4):
17-19.
Wena, M. (2009). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer.
Jakarta: Bumi Aksara
Muqowim. (2011). Pengembangan Soft Skill Guru. Yogyakarta:
Pedagogika.
Marzuki. 2012. “Pengembangan
Soft Skill Berbasis Karakter
Melalui Pembelajaran IPS Sekolah Dasar”.
Diunduh dari
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/dr-marzuki-mag/dr-marzuki-mag-pengembangan-soft-skill-berbasis-karakter-melalui-pembelajaran-ips-sd.pdf
(diakses tanggal 15 Oktober 2013).
Rosyidatul Munawaroh, dkk. (2012). Penerapan Model Project Based
Learning dan Kooperatif untuk Membangun Empat Pilar Pembelajaran Siswa SMP, 1
(1): 2-3
Turgut, H. (2010). Prospective Science Teachers:
Conceptualization about Project Based Learning. International Journal of
Intruction, 1 (1): 61-79
artikelnya bagus ka
BalasHapusbagus
BalasHapusSangat bagus kak 👍
BalasHapus