TEORI
BEHAVIORISME
Salah
Satu Perspektif Psikologis Mengenai Belajar
Oleh: Singgih, Dery, Sherley
BAB
I
PENDAHULUAN
Teori
dipandang sebagai asas dengan ide, konsep maupun prosedur di dalamnya. Oleh
karena teori memuat konsep maka teori dapat dipelajari, dianalisis serta diuji
kebenarannya. Teori belajar adalah suatu teori yang di
dalamnya terdapat tata cara pengaplikasian kegiatan pembelajaran termasuk
metode pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas. Ada beberapa
teori dasar dan utama tentang belajar, diantaranya adalah teori behaviorisme,
kognitivisme, dan teori konstruktivisme. Dilihat dari sejarah perkembangannya, behaviorisme
merupakan teori yang tertua. Banyak perdebatan bermunculan ketika membahas
tentang teori ini. Hal itu bisa jadi disebabkan oleh ketidakpahaman seseorang.
Oleh karena itu pada bab selanjutnya akan kami uraikan lebih rinci mengenai pengertian,
sejarah perkembangan, kelebihan dan kekurangan, serta aplikasi teori
behaviorisme dalam pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Teori Behaviorisme
Behaviorisme
yang juga disebut sebagai pendekatan behavioristik, merupakan paradigma utama
dalam psikologi antara tahun 1920 sampai 1950 dan didasarkan pada sejumlah
asumsi yang mendasari tentang metodologi dan analisis perilaku. Behaviorisme sangat
berkaitan dengan perilaku yang dapat diamati, yang bertentangan dengan kejadian
internal seperti berpikir dan emosi. Diamati (eksternal) maksudnya perilaku dapat
diukur secara obyektif dan ilmiah. Kejadian
internal, seperti berpikir harus dijelaskan atau digambarkan melalui perilaku.
Teori
behavioristik merupakan teori belajar yang lebih menekankan pada perubahan
tingkah laku serta sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan
respon. Tokoh pelopor dari teori behavioristik adalah Thorndike, Watson, Clark Hull,
Edwin Guthrie dan Skinner. Teori
belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang
dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. (Driscoll dalam Donna Green,
2002). Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan
hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik.
Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun
eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau
dampak, berupa reaksi fifik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan
ikatan, asosiasi, sifat da kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon).
Beberapa pandangan
behaviorisme terhadap manusia adalah sebagai berikut;
1. Manusia tidak memiliki kehendak. Namun lingkungan menentukan
perilaku mereka.
2. Saat lahir pikiran kita adalah kosong.
3. Hanya
ada sedikit perbedaan antara konsep pembelajaran yang terjadi pada manusia dan
hewan. Oleh karena itu penelitian dapat dilakukan pada hewan maupun manusia.
4. Perilaku
merupakan hasil dari stimulus – respon.
5. Semua
perilaku dipelajari dari lingkungan.
B.
Perkembangan
Teori Behaviorisme
1.
Edward Edward Lee Thorndike (1950an)
Teori Koneksionisme
Menurut Thorndike, belajar
merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang
disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Hasil eksperimen kucing lapar yang
dimasukkan dalam kandang kucing diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara
stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat
serta melalui usaha –usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan
kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar
adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan
berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang
dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar
koneksionisme atau teori asosiasi. Thorndike dinobatkan sebagai salah satu
tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan karena sumbangannya yang cukup besar terhadap
dunia pendidikan.
Percobaan Thorndike yang
terkenal dengan binatang coba kucing yang telah dilaparkan dan diletakkan di
dalam sangkar yang tertutup dan pintunya dapat dibuka secara otomatis apabila
kenop yang terletak di dalam sangkar tersebut tersentuh. Percobaan tersebut
menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and conecting”, yaitu
bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam
melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan
perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap response menimbulkan
stimulus yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan response
lagi, demikian selanjutnya.
Thorndike kemudian menemukan hukum-hukum
belajar sebagai berikut:
1.
Hukum Kesiapan (law of readiness)
Semakin
siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan
tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi
cenderung diperkuat. Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar merupakan
suatu kegiatan membentuk asosiasi (connection) antara kesan panca indera dengan
kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada
kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini
dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi
memuaskan. Namun, akibat lainnya ia tidak akan melakukan tindakan lain.
2.
Hukum Latihan (law of exercise)
Semakin sering tingkah laku diulang (digunakan),
maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Prinsip law of exercise adalah
koneksi antara kondisi atau lingkungan dengan tindakan akan menjadi lebih kuat
karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila tidak dilanjutkan atau dihentikan.
Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah ulangan. Makin
sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
3.
Hukum Akibat (law of effect)
Hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila
akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah
jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai
hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung
dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang
diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.
Selanjutnya
Thorndike menambahkan hukum-hukum tambahan sebagai berikut:
a. Hukum
Reaksi Bervariasi (multiple response).
Hukum
ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh prooses trial dan error yang
menunjukkan adanya bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat
dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
b. Hukum
Sikap ( Set/ Attitude).
Hukum
ini menjelaskan bahwa perilakku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh
hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada
dalam diri individu baik kognitif, emosi , sosial , maupun psikomotornya.
c. Hukum
Aktifitas Berat Sebelah ( Prepotency of Element).
Hukum
ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan respon pada
stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi (
respon selektif).
d. Hukum
Respon by Analogy.
Hukum
ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi yang belum
pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang
belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi
transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin
mudah.
e. Hukum
perpindahan Asosiasi ( Associative Shifting)
Hukum
ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang
belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi
sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama.
Di dalam perjalanan penyampaian
teorinya, thorndike melakukan revisi terhadap Hukum Belajar, antara lain:
a.
Hukum latihan ditinggalkan karena
ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus
respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan stimulus respon belum tentu
diperlemah.
b.
Hukum akibat direvisi, yang berakibat
positif untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah, sedangkan hukuman tidak
berakibat apa-apa.
c.
Syarat
utama terjadinya hubungan stimulus-respon bukan kedekatan, tetapi adanya saling
sesuai antara stimulus dan respon.
d.
Akibat
suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain.
2.
Ivan Petrovich Pavlov
(1849-1936) Classic conditioning
Eksperimen-eksperimen yang dilakukan
Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme,
dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya. Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan
rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan
apa yang diinginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan anjing
karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian,
dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang. Ia
mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi leher pada seekor anjing.
Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan
sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing tersebut. Ujicoba kedua, sebelum
makanan diperlihatkan, maka diperlihatkan sinar merah terlebih dahulu, baru
makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan yang
demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya
memperlihatkan sinar merah saja tanpa makanan maka air liurpun akan keluar
pula. (sebagian data diambil dari www. dakota.fmpdata.net/PsychAI)
Makanan
adalah rangsangan wajar, sedang merah adalah rangsangan buatan. Ternyata kalau
perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan
menimbulkan syarat (kondisi) untuk timbulnys air liur pada anjing tersebut.
Peristiwa ini disebut: Reflek Bersyarat atau Conditioned Respons. Dari contoh
tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata
individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan
stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan,
sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang
berasal dari luar dirinya.
3.
Burrhus Frederic Skinner (1940an) Operant Conditioning.
Skinner mengadakan
pendekatan behavioristik untuk menerangkan tingkah laku. Pada tahun 1938,
Skinner menerbitkan bukunya yang berjudul The Behavior of Organism. Skinner meyakini
bahwa perilaku dikontrol melalui proses operant conditioning. Di
mana seorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian
reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan relatif besar. Dalam beberapa
hal, pelaksanaannya jauh lebih fleksibel daripada conditioning klasik. (Sharon
E Smaldino, et al 2011).
Operant
Conditioning adalah suatu proses perilaku operant ( penguatan positif atau
negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau
menghilang sesuai dengan keinginan.
Skinner membuat eksperimen sebagai berikut :
Dalam laboratorium Skinner memasukkan tikus yang telah
dilaparkan dalam kotak yang disebut “skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan
berbagai peralatan yaitu tombol, alat pemberi makanan, penampung makanan, lampu
yangdapat diatur nyalanya, dan lantai yanga dapat dialir listrik. Karena
dorongan lapar tikus beruasah keluar untuk mencari makanan. Selam tikus
bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol,
makanan keluar. Hasil percobaannya pada tikus dan burung merpati Skinner
mengatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan.
Beberapa prinsip Skinner antara lain (Michael &
William, 1981):
- Hasil belajar
harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika
bebar diberi penguat.
- Proses
belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
- Materi
pelajaran, digunakan sistem modul.
- dalam proses
pembelajaran, tidak digunakan hukuman.
- dalam proses
pembelajaran, lebih dipentingkan aktifitas sendiri.
- Tingkah laku
yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya hadiah diberikan
dengan digunakannya jadwal variabel Rasio rein forcer.
- Dalam pembelajaran digunakan shaping.
4.
Robert Gagne ( 1916-2002).
Gagne mengembangkan
konsep terpakai dari teori instruksionalnya untuk mendisain pelatihan berbasis
komputer dan belajar berbasis multi media. Teori Gagne banyak dipakai untuk
mendesain software instruksional. Gagne disebut sebagai Modern Neobehaviouris
mendorong guru untuk merencanakan instruksioanal pembelajaran agar suasana dan
gaya belajar dapat dimodifikasi. (Mary Anne Weegar, 2012). Ketrampilan paling rendah menjadi dasar bagi
pembentukan kemampuan yang lebih tinggi dalam hierarki ketrampilan intelektual.
Guru harus mengetahui kemampuan dasar yang harus disiapkan. Belajar dimulai dari
hal yang paling sederhana dilanjutkan pada yang lebih kompleks.
5.
Albert Bandura (1950an); teori
belajar sosial
Teori belajar sosial atau kognitif sosial serta
efikasi diri. Eksperimennya yang sangat terkenal adalah eksperimen yang
menunjukkan anak meniru secara persis perilaku dari orang dewasa disekitarnya. Faktor-faktor yang berproses dalam belajar observasi
adalah:
1.
Perhatian,
mencakup peristiwa peniruan dan karakteristik pengamat.
2.
Penyimpanan
atau proses mengingat, mencakup kode pengkodean simbolik.
3.
Reprodukdi
motorik, mencakup kemampuan fisik, kemampuan meniru, keakuratan umpan balik.
4.
Motivasi,
mencakup dorongan dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri.
Karena melibatkan
atensi, ingatan dan motifasi, teori Bandura dilihat dalam kerangka Teori Behaviour
Kognitif. Teori belajar sosial membantu memahami terjadinya perilaku agresif
dan penyimpangan psikologi dan bagaimana
memodifikasi perilaku. Teori Bandura menjadi dasar dari perilaku pemodelan yang
digunakan dalam berbagai pendidikan secara massal.
C.
PRINSIP-PRINSIP UTAMA BEHAVIORISME
Berdasarkan
pengertian dan konsep teori-teori para behaviorist, dapat diperoleh gambaran
mengenai prinsip-prinsip umum dari teori ini, diantaranya (Donna Green, 2002);
1.
Mementingkan faktor lingkungan
2.
Menekankan pada faktor bagian/ komponen
3.
Menekankan
pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif.
4.
Sifatnya mekanis
5.
Mementingkan masa lalu
6.
Cenderung melihat hasil
D.
KELEBIHAN
DAN KEKURANGAN
1.
Kelebihan
Teori Behaviorisme
·
Membisakan
guru untuk bersikap jeli dan peka terhadap situasi dan kondisi belajar.
·
Guru
tidak membiasakan memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan belajar mandiri.
Jika murid menemukan kesulitan baru ditanyakan pada guru yang bersangkutan.
·
Mampu
membentuk suatu prilaku yang diinginkan mendapatkan pengakuan positif dan
prilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negative yang didasari pada
prilaku yang tampak.
·
Dengan
melalui pengulangan dan pelatihan yang berkesinambungan, dapat mengoptimalkan
bakat dan kecerdasan siswa yang sudah terbentuk sebelumnya. Jika anak sudha
mahir dalam satu bidang tertentu, akan lebih dapat dikuatkan lagi dengan
pembiasaan dan pengulangan yang berkesinambungan tersebut dan lebih optimal.
·
Bahan
pelajaran yang telah disusun hierarkis dari yang sederhana sampai pada yang
kompleks dengan tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang
ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu mampu menghasilakan suatu
prilaku yang konsisten terhadap bidang tertentu.
·
Dapat
mengganti stimulus yang satu dengan stimuls yang lainnya dan seterusnya sampai
respons yang diinginkan muncul.
·
Teori
ini cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan
yang mengandung unsure-unsur kecepatan, spontanitas, dan daya tahan.
·
Teori
behavioristik juga cocok diterapakan untuk anak yang masih membutuhkan dominasi
peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru, dan suka
dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung.
2. Kekurangan Teori Behavioristik
·
Sebuah
konsekwensi bagi guru untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah
siap.
·
Tidak
setiap pelajaran dapat menggunakan metose ini.
·
Murid
berperan sebagai pendengar dalam proses pembelajaran dan menghafalkan apa di
dengar dan di pandang sebagai cara belajar yang efektif.
·
Penggunaan
hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap
sebagai metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.
·
Murid
dipandang pasif, perlu motifasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh
penguatan yang diberikan oleh guru.
·
Murid
hanya mendengarkan dengan tertib penjelsan dari guru dan mendengarkan apa yang
didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif sehingga inisiatf
siswa terhadap suatu permasalahan yang muncul secara temporer tidak bisa
diselesaikan oleh siswa.
·
Cenderung
mengarahakan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif, tidak
produktif, dan menundukkan siswa sebagai individu yang pasif.
·
Pembelajaran
siswa yang berpusat pada guru(teacher cenceredlearning) bersifat mekanistik dan
hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur.
·
Penerapan
metode yang salah dalam pembelajaran mengakibatkan terjadinya proses
pembelajaran yang tidak menyenangkan bagi siswa, yaitu guru sebagai center,
otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih, dan menentukan apa
yang harus dipelajari murid.
E.
APLIKASI
BEHAVIORISME DALAM PEMBELAJARAN
Aliran
psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan
teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran
behavioristik.. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya,
mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau
perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata.
Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi
teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal
seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar,
media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan
berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif,
pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi,
sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau
pebelajar.
Demikian
halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu
membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para
pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan
standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para
pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya
pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak
teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi
dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan kebebasan
bagi peserta didik untuk berkreasi dan bereksperimen. Teori behavioristik
memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur. Oleh karena
itu, pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang
jelas dan ditetapkan terlebih dulu. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial
dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan
disiplin. Ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar.
Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan
aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar
diri pebelajar.
Tujuan
pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas yang menuntut pebelajar untuk
mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan,
kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian
yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke
keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga
aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan
penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib
tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar. Evaluasi
belajar dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan
biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran.
F.
Keterkaitan
Teori Behaviorisme dengan Kurikulum 2013
Teori belajar berhubungan erat dengan teori
pembelajaran, dimana teori-teori belajar dijadikan sebagai dasar untuk membuat sebuah
model, metode, strategi pembelajaran. Membaca pemaparan isi kurikulum 2013 yang
berbasis sains, di mana peserta didik diperkenalkan sebuah struktur belajar
melihat, menyimak, bertanya, observasi, menemukan dan kegiatan lain yang
mendorong siswa aktif secara fisik. Penilaian pembelajaran pada kurikulum 2013
cenderung pada proses dan perilaku peserta didik, hal ini sangat sejalan dengan
teori belajar kostruktivisme dan behaviorisme. Konstruktivisme memandang
belajar sebagai sebuah proses membangun pengetahuannya sendiri melalui
pengalaman nyata, sedangkan behaviorisme mamandang belajar sebagai perubahan tingkah
laku yang dapat diamati dan terukur.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebagai konsekuensi
dari teori ini, para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme harus
menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan
pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru
tidak banyak memberi ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti
contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran
disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.
Pembelajaran
berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera
diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan
dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori
behavioristik ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku
yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai
mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku
yang tampak.
Tidak setiap mata
pelajaran bisa memakai metode ini, sehingga untuk menerapkan kondisi
behaviorist, kejelian dan kepekaan guru sangat dibutuhkan dalam melihat situasi
dan kondisi belajar Metode behavioristik
ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang membutuhkan praktek dan
pembiasaan.
REFERENSI
Donna Green. (2002). From Theory to Practice:
Behaviorist Principles of Learning and Instruction. Teaching and Learning Newsletter. Volume 7(2) p1.
Mary
Anne Weegar. (2012) . A Comparison of Two Theories of Learning: Behaviorism
and Constructivism as applied to Face-to-Face and Online Learning. E-Leader
Manila
Michael & William. (1981). Behavioral Learning
Theory. Journal of Marketing. Vol 45.
Sharon E. Smaldino,
et al (2011). Instructioal Technology
& Media for Learning. Jakarta: Kencana