Minggu, 26 Januari 2014

KJS, bukan Kartu Jokowi Sehat



KJS, bukan Kartu Jokowi Sehat
oleh Singgih Subiyantoro
Ada sebuah fenomena menarik yang sedang terjadi di tanah air dimana semua media terus menyoroti seorang Jokowi. Kurang lebih selama satu tahun terakhir ini sepertinya orang yang bernama asli Joko Widodo menjadi pusat pemberitaan di berbagai media, kemanapun ia melangkah, hampir tidak pernah luput dari jangkauan kamera. Secara tidak sadar kita semua sebenarnya berada di dalam femonema tersebut. Banyak orang yang bangga karena ini menjadi suatu sejarah bangsa juga karena baru pertama kali ini seorang gubernur bisa melebihi ketenaran seorang selebriti.
Nama Jokowi sempat menduduki peringkat ke-5 teratas dalam daftar yang dikeluarkan oleh Google Zeitgeist pada tahun 2012. Dunia pun lewat The City Mayors Foundation, turut serta memberikan penghargaan atas kerja keras Jokowi dengan menempatkannya pada urutan ketiga dalam pemilihan walikota terbaik dunia "World Mayor Project 2012". Popularitas Jokowi dimulai semenjak menjabat sebagai Walikota Solo selama dua periode yakni tahun 2005-2010 dan tahun 2010-2015. Periode keduanya hanya 2 tahun menjabat, karena akhirnya memutuskan untuk maju dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012 lalu. Ternyata popularitasnya terus berlanjut dan semakin menanjak, terutama di dunia maya. Sepertinya berita tentang Jokowi selalu saja menarik perhatian publik dan dapat dijual oleh para wartawan dan media.
Mungkin tidak ada yang menyangka bahwa seorang Jokowi yang awalnya bukan berasal dari kader partai politik yang menonjol tapi bisa menjadikan kepemimpinannya sebagai fenomena baru bagi masyarakat Indonesia, bahkan di mata dunia. Nama Jokowi mulai terdengar dalam kepemimpinan politik RI yang saat itu merindukan figur alternatif, seorang pemimpin yang tidak hanya memberi janji, tetapi pemimpin yang pandai bertindak. Pembuktian keberhasilan kepemimpinannya semasa menjabat Walikota Solo yang menonjol yakni melakukan rebranding kota Solo, yang semula penataannya sangat buruk dan banyak penolakan masyarakat untuk ditertibkan, kini telah diubahnya jauh lebih baik menjadi kota yang sangat tertib.
Berita terakhir di Tempo.co tentang Jokowi dalam menangani Ibukota Indonesia telah menjadi sebuah berita dalam The New York Times, salah satu media berita Amerika yang menerbitkan artikelnya pada tanggal 25 September 2013. Inti dari artikel tersebut menjelaskan gaya Jokowi memimpin Jakarta dengan gaya “blusukan”, yakni turun ke jalan atau terjun langsung ke lapangan, meninjau daerah-daerah pelosok untuk mendengar aspirasi dari warganya secara langsung. Disebutkan pula dalam artikel tersebut tentang pencapaian kerja sang Gubernur dalam kurun waktu kurang dari satu tahun dimana diluncurkannya Kartu Jakarta Sehat, Kartu Jakarta Pintar, pembayaran pajak online, dan program besarnya transportasi massal.
Berbicara mengenai Kartu Jakarta Sehat atau disingkat KJS, sampai saat ini masih menjadi topik perbincangan oleh banyak orang terutama mengenai sistem pelaksanaannya. Persoalan baik buruknya sistem, setidaknya ada dua kubu yang menanggapi hal ini, yakni kubu pro dan kubu kontra. Kubu pro tentunya datang dari warga DKI jakarta yang kurang mampu, orang-orang yang peduli dengan keadilan, serta orang-orang yang sudah merasa termudahkan adanya program ini. Sedangkan kubu kontra bisa berasal dari pihak yang memang “tidak suka” dengan Jokowi serta dari orang yang mendapatkan fasilitas itu tapi justru merasa dipersulit dengan sistem yang ada. Bagaimana pun itu, seharusnya kita pahami terlebih dahulu bagaimana sistem dan tujuan yang sebenarnya, sehingga tidak sembarang melontarkan komentar-komentar jelek pada sebuah sistem atau program tersebut.
Perlu  pemahaman mendalam untuk menilai sistem itu baik atau buruk. Oleh karena itu, pada bab selanjutnya akan saya uraikan lebih dalam mengenai sistem KJS, bagaimana perencanaan, pelaksanaan yang meliputi sistem pelayanan, kontrol atau pengawasan dan evaluasinya, serta bagaimana analisis permasalahan dan solusi untuk keberlanjutan KJS.

 1.    Perencanaan Sistem KJS.
Kartu Jakarta Sehat (KJS) resmi diluncurkan 10 November 2012 sebagai program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (dalam kepemimpinan Jokowi-Ahok) melalui UP Jamkesda Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta kepada masyarakat dalam bentuk bantuan pengobatan.  Tujuan dibuatnya KJS adalah untuk memberikan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi warga Provinsi DKI Jakarta terkhusus bagi keluarga miskin dan kurang mampu dengan sistem rujukan berjenjang. 
Sasaran dari program ini yakni semua penduduk DKI Jakarta yang mempunyai KTP atau Kartu Keluarga DKI Jakarta yang belum memiliki jaminan kesehatan, diluar program Askes, atau asuransi kesehatan lainnya. KJS bisa dimanfaatkan antara lain untuk keperluan pengobatan sebagai berikut;
1.    Rawat Jalan diseluruh Puskesmas Kecamatan / Kelurahan di Provinsi DKI Jakarta.
2.    Rawat Jalan Tingkat Lanjut (RJTL) di Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) tingkat II, (RSUD, RS vertikal dan RS Swasta yang bekerjasama dengan UP Jamkesda) wajib dengan rujukan dari Puskesmas.
3.    Rawat Inap (RI) di Puskesmas dan Rumah Sakit yang bekerjasama dengan UP Jamkesda di kelas III.
Adapun persyaratan pendaftaran KJS di puskesmas harus membawa dan menunjukkan KTP dan Kartu Keluarga Provinsi DKI Jakarta di seluruh Puskesmas Kecamatan di wilayah yang sama dengan yang tertera pada identitas pemohon. Jadi pendaftaran di wilayah kecamatan masing-masing, tidak di semua puskesmas.
Untuk penggunaan KJS pada saat berobat pasien harus membawa Kartu Jakarta Sehat atau Kartu Gakin/ Kartu Jamkesda dan jika pasien belum memiliki KJS, dapat menunjukkan KTP dan Kartu Keluarga Provinsi DKI Jakarta.  Sedangkan untuk memperoleh fasilitas berobat gratis di Rumah Sakit pasien diwajibkan membawa surat rujukan dari Puskesmas, menunjukkan Kartu Jakarta Sehat / Kartu Jamkesda / Kartu Gakin dan jika belum memiliki Kartu Jakarta Sehat cukup menunjukkan KTP dan Kartu Keluarga Provinsi DKI Jakarta saja. Sementara untuk Unit Gawat Darurat RS hanya menerima pasien dengan kasus emergency atau benar-benar memerlukan penanganan cepat, serta rawat inap jika memang disarankan oleh dokter yang merawat. Jadi alurnya dari Puskesmas, kemudian ke RSUD jika dirujuk, lalu ke RS pemerintah seperti RSCM jika ada rujukan dari RSUD.
2.    Pelaksanaan KJS.
Seperti yang kita ketahui, pada tanggal 10 November 2012 KJS resmi diluncurkan untuk 3.000 warga DKI Jakarta yang kurang mampu. Selanjutnya pada tanggal 28 Mei 2013 kembali dibagikan sebanyak 1,7juta kartu. Berbeda dengan Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang hanya ditujukan untuk siswa miskin saja, sasaran KJS adalah warga miskin dan warga rentan miskin (menengah) yang diperkirakan mencapai 4,7 juta jiwa, atau setengah dari jumlah penduduk DKI Jakarta. Jadi, warga yang cukup mampu pun bisa memperoleh KJS dengan catatan bersedia berobat di Puskesmas atau rawat inap di RSUD kelas tiga.
Dalam pelaksanaan KJS, Jokowi mendapat tanggapan dari berbagai pihak, ada yang positif dan tentunya banyak yang negatif. Keluh kesah warga pengguna KJS pun mulai bermunculan ketika mereka merasa dipersulit atau mungkin tidak mendapatkan pelayanan yang sesuai harapan.
Permasalahan lain muncul setelah banyak dari Rumah Sakit yang bekerja sama dengan KJS mengundurkan diri karena merasa dirugikan dengan sistem KJS, hingga akhirnya DPRD DKI mengancam akan melakukan interpelasi kepada Jokowi. Setelah mereda, lalu muncul polemik perihal mekanisme kerjasama pembayaran dengan pihak Rumah Sakit.
Sebelumnya Joko Widodo pernah menyampaikan mengenai prediksi bagaimana pelaksanaan sistem KJS saat belum lama diluncurkan, (Balaikota Jakarta Minggu 9 Februari 2012). Ia  mengatakan bahwa kelemahan program Kartu Jakarta Sehat (KJS) akan tampak pada tiga bulan ke depan. Sementara itu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus melakukan pengawasan terhadap pelaksanaannya. Jokowi juga menuturkan bahwa pemprov DKI akan melakukan pengawasan secara ketat terhadap pelaksanaan program tersebut karena telah menelan anggaran yang cukup besar, yakni lebih dari satu triliun rupiah. Maka, perlu dibentuk tim evaluasi, termasuk melibatkan masyarakat untuk melakukan pengawasan agar jalannya program tidak keluar dari kontrol. Bila evaluasi program tersebut berjalan konsisten, menurutnya pelaksanaan KJS akan diteruskan sebagai program unggulan setiap tahun.
3.    Evaluasi Pelaksanaan.
Carut-marutnya pelaksanaan sistem KJS membuat Jokowi dan jajarannya melakukan kontrol ketat dan evaluasi terus-menerus. Mundurnya 16 RS dari sistem KJS merupakan sebuah peringatan bagi rencana pemerintah untuk memberlakukan sistem jaminan kesehatan yang nantinya akan diberlakukan di seluruh Indonesia. Permasalahan ini muncul setelah dilakukan pemindahan sistem pembayaran, yang awalnya dikelola oleh pemerintah daerah, kemudian dialihkan ke sebuah perusahaan asuransi milik pemerintah (ASKES) yang rencananya awal tahun depan akan berubah nama menjadi Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS).
Rumah Sakit yang menjadi rujukan pemegang KJS berkurang, sementara pasien yang ingin berobat justru semakin meluap. Menanggapi permasalahan ini pemprov kemudian menggandeng RS swasta untuk terlibat dalam sistem KJS. Namun, masih terkendala pada hitungan tarif sistem pembayaran Indonesian Case Based Groups (INA CBG's).
Jokowi juga mengakui ada tiga permasalahan yang menyebabkan sistem KJS tidak berjalan dengan maksimal. Ketiga permasalahan tersebut yakni, rumah sakit swasta dianggap terlalu mengambil keuntungan atau profit oriented. Kedua, premi sebesar Rp 23.000 yang dibayarkan dirasa masih kurang. Banyak Rumah Sakit gandengan KJS mengeluh rugi. Kemudian permasalahan terakhir pada penggunaan sistem Indonesian Case Basic Groups (INA CBG's), di mana obat yang digunakan juga diatur oleh sistem INA CBG's.
Solusi dari Wakil Gubernur mengenai masalah premi yang terlalu kecil yakni dengan mengusahakan menaikkan premi KJS dari Rp 23.000 menjadi Rp 50.000. Mereka yakin jika nilai premi tetap dipertahankan sebesar Rp 23.000, maka KJS sebagai pilot project BPJS tidak akan berjalan dengan efektif. Namun  Jokowi tidak terlalu bersepakat jika menyelesaikan problem KJS dengan meningkatkan premi menjadi Rp 50.000 per kepala. Sebab ia berpendapat jika dilakukan peningkatan premi justru akan berdampak pada bertambahnya beban APBD. Sebenarnya ia lebih menginginkan untuk membenahi sistemnya daripada harus menaikkan premi sebab masalahnya pun tidak hanya berasal dari kurangnya premi tapi juga banyak masalah-masalah lain.
Sebagai bentuk kontrol kebijakan publik, LSIN (Lembaga Survei Independen Nusantara) turut serta dalam mengevaluasi program besarnya Jokowi-Ahok dengan melakukan penelitian tingkat kepuasan pelanggan KJS. Setelah menganalisis data dan konfirmasi ke pihak-pihak terkait serta kajian lanjutan, LSIN menyimpulkan bahwa sistem pelaksanaan KJS masih berantakan, mulai dari proses pendaftaran, layanan kesehatan, mekanisme pembayaran, hingga ketidakjelasan proyeksi KJS mendatang.
Pada proses kepesertaan, sebagaimana rencana Pemprov DKI bahwa penerima KJS adalah penduduk ber-KTP DKI kategori miskin dan rentan miskin atau yang diberikan penghargaan. Faktanya kepesertaan KJS masih banyak yang tidak tepat sasaran, terjadi kesalahan cetak KJS, dan banyak terjadi penolakan pendaftaran. Pada tahap awal pendaftaran kepesertaan KJS, Pemprov DKI menggunakan data penduduk miskin BPS tahun 2011, kemudian proses pendaftaran dirubah dengan cukup mendaftarkan diri ke Puskemas terdekat dengan pola proaktif masyarakat.
Lalu, pada tataran pelaksanaan, sistem layanan kesehatan juga masih banyak kekurangan, terjadi penolakan pihak RS dan 16 RS yang kemudian mengundurkan diri untuk kerjasama sudah menjadi bukti. Buruknya kerjasama Pemprov dengan RS dan minimnya sosialisasi cara berobat berdampak pada pelayanan kesehatan yang tidak maksimal. Layanan kesehatan sering tidak diberikan secara tuntas terhadap pasien. Warga juga belum memahami mekanisme layanan yang diterapkan dalam sistem KJS. Selain itu, program layanan KJS juga tidak memiliki dasar perencanaan yang panjang, sehingga timbul pertanyaan bagaimana KJS mendatang dan akan menjadi apa KJS itu?.
Ambivalensi sistem layanan kesehatan juga terjadi dimana sistem KJS dan BPJS berbaur dalam sebuah layanan kesehatan. Dampaknya sistem layanan kesehatan di DKI Jakarta menjadi berantakan. Bergabungnya KJS dan BPJS bisa berpotensi pada terjadinya penyelewengan anggaran, dikarenakan BPJS merujuk pada APBN sementara KJS merujuk pada APBD. Jika buruknya sistem layanan kesehatan yang diterapkan Pemprov DKI terus dijalankan maka akan menghasilkan layanan kesehatan yang kurang baik, yang korbannya adalah penduduk DKI sendiri.
Oleh karena itu, dalam rangka menyempurnakan sistem KJS, pemprov DKI melakukan sejumlah evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan. Perbaikan pertama yang perlu dilakukan adalah sistem rujukan. Sistem rujukan akan dibuat dalam 3 tahap. Pengguna KJS harus berobat melalui Puskesmas terlebih dahulu, jika kemudian diperlukan dirujuk kembali Puskesmas akan merujuk ke RSUD dan selanjutnya ke RS Swasta jika diharuskan. Perbaikan yang kedua adalah pada audit medis dan rujukan untuk mengantisipasi terjadinya penumpukan pasien di suatu Rumah Sakit. Ketiga, perbaikan mekanisme pembayaran, yakni dengan menyiapkan aplikasi tagihan online sehingga pengeluaran biaya akan tercover dengan baik dan cepat. Sedangkan perbaikan keempat, yakni menambah tempat tidur kelas 2 dan memaksimalkan call center (119) untuk layanan informasi kesehatan secara online.
Langkah lainnya yang ditempuh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam rangka mendukung perbaikan sistem KJS diantaranya adalah mengadakan pelatihan sistem pola pembayaran KJS. Pelatihan ini bekerjasama dengan PT Askes untuk menerapkan mekanisme pembayaran baru, dengan menggunakan pola pembayaran nasional. Langkah selanjutnya Pemprov DKI bekerjasama dengan FK UI dan RSCM dalam pembuatan Pergub pelaksanaan sistem online dan untuk pelaksanaan pelayanan call centre. Dengan langkah-langkah perbaikan tersebut diharapkan nantinya tidak ada lagi warga yang tidak memahami sistem KJS dan tidak ada lagi penyalahgunaan dari pihak Rumah Sakit maupun pengguna KJS.

     Analisis dan Kesimpulan
1.    Analisis
Baik-buruknya sistem KJS ternyata banyak menimbulkan pengaruh yang cukup besar bagi masyarakat luas. Apalagi pemerintah berencana memberlakukan sistem jaminan kesehatan di seluruh Indonesia, pasti akan banyak sekali tanggapan yang bermunculan. Melihat KJS yang masih dalam lingkup provinsi saja cukup amburadul, bagaimana nanti jika diterapkan untuk seluruh indonesia?
a.    Pangkal permasalahan KJS.
Problematika KJS mulai tampak ketika bulan maret 2013 dilakukan pemindahan sistem pembayaran, yang tadinya langsung dikelola oleh pemerintah daerah dialihkan kepada PT Askes yang akan berganti nama menjadi Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS). Dengan kata lain KJS bergabung dengan BPJS. Bisa juga dikatakan bahwa pemerintah daerah sedang melakukan apa yang dikenal dengan jebakan struktur sistem, atau pergeseran tanggung jawab. Mungkin mereka beranggapan jika tanggungjawab diserahkan kepada asuransi perhitungannya akan lebih mudah dan jelas, berdasarkan premi per orang. Terlebih perusahaan itu menjamin tidak ada masalah.
Ternyata, dibalik kemudahan transaksi pihak asuransi mengeluarkan sebuah taktik dalam menghitung premi tersebut, yang dikenal dengan sistem INA CBG’s. Ini merupakan pengelompokan atau paket tarif layanan kesehatan berdasarkan diagnosanya. Namun perlu diketahui bahwa biaya operasional RS swasta dan RS pemerintah berbeda. RS Swasta tentu harus menanggung sendiri biaya operasionalnya, sedangkan RS Pemerintah biaya operasional disubsidi. Tarif premi yang dibayarkan oleh INA CBG’s dianggap terlalu murah yakni sebesar Rp 23.000 per kepala. Tentunya, pihak swasta juga berorientasi pada profit. Sedangkan untuk menaikkan tarif premi dari 23.000 ke 50.000 Pemprov DKI tidak akan kuat, butuh bantuan dana APBN. Persoalan tarif inilah yang juga harus dipertimbangkan baik-baik demi kelancaran pelayanan RS kepada pengguna KJS.
Berbicara mengenai permasalahan kategorisasi pemegang KJS yang dinilai tidak tepat sasaran, KJS memang sebuah kebijakan yang berbeda dengan KJP dimana sasarannya hanya untuk kategori miskin saja. Kebijakan KJS tidak demikian, sasaran yang sebenarnya adalah warga kategori miskin dan rentan miskin. Tetapi pada kenyataan saat ini, siapapun warga yang ber-KTP DKI Jakarta bisa mendapatkan layanan kesehatan gratis tanpa memandang miskin atau mampu. Kriteria lainnya hanyalah kriteria “malu atau tidak”. Jika ada orang kaya dan merasa tidak malu untuk menggunakan fasilitas ini maka diperbolehkan. Dengan sistem seperti ini mengakibatkan jumlah pasien meluap di RS gandengan KJS. Hal ini mungkin disebabkan karena banyak orang berfikir “mumpung gratis” maka mereka yang justru dari golongan mampu secara rutin berobat ke Puskesmas ataupun Rumah Sakit. Ini yang menjadikan KJS itu kurang tepat sasaran, karena warga mampu pun bisa mendapatkan fasilitas tersebut. Jadi, bisa diasumsikan dalam memperoleh fasilitas ini, kelompok miskin harus bersaing dengan kelompok mampu yang notabenenya bisa membayar sendiri.
Pada tahapan pendaftaran di Puskemas, sangat disayangkan bahwa prosesnya tidak dibarengi dengan tim surveyor atau verifikator untuk menentukan apakah layak untuk mendapatkan KJS atau tidak. Pemerintah Provinsi DKI memang menggandeng PT Askes sebagai mitra untuk kepesertaan, namun saya rasa itu hanyalah sebatas mencegah adanya peserta ganda atau double identity. Sistem ini yang menimbulkan asusmsi bahwa KJS tidak tepat sasaran, tidak mengutamakan warga miskin dan rentan miskin.
b.    Upaya perbaikan sistem.
Berbagai upaya perbaikan yang akan segera dilakukan sebagai bentuk evaluasi sistem KJS diantaranya adalah menambah ruangan Rumah Sakit karena jumlah RS yang menjadi mitra berkurang, sehingga terpaksa ruangannya harus ditambah. Rencana penghapusan kelas rumah sakit juga akan segera dilakukan, agar tidak ada diskriminasi pasien. Saat ini, Rumah Sakit digolongkan berdasarkan kemampuan mereka memberikan pelayanan medis. Ada rumah sakit kelas A, B, C, dan D. Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) contohnya, merupakan rumah sakit dengan tipe tertinggi karena dapat menangani pasien dengan kasus-kasus yang berat. Sedangkan golongan di bawahnya adalah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) yang memiliki dokter spesialis. Nah, perbedaan kelas rumah sakit itu dimungkinkan dapat memunculkan ketidakadilan dalam klaim tarif INA-CBG's. Sebab. Dengan kata lain tipe rumah sakit akan memengaruhi besaran tarif klaim.
Rencana perbaikan lain yang sangat penting yakni audit pengelolaan anggaran program KJS oleh BPK yang baru akan dilaksanakan pada tahun 2014 untuk menilai pelaksanaan KJS. Audit tersebut bukan hanya meneliti kemungkinan terjadinya kecurangan, tetapi juga untuk menemukan kekurangan dalam pelaksanaan program KJS tahun 2013. Dengan adanya audit dari BPK diharapkan akan terlihat jelas bagaimana pengelolaan anggarannya, bagaimana penggunaannya apakah sudah tepat atau belum, serta kekurangan lain sehingga dapat diperbaiki dan ditingkatkan lagi sistem layanannya.
Guna mengatasi permasalahan kurangnya RS mitra dan ruangannya,  Jokowi berencana akan segera menggulirkan program dokter pribadi atau dokter keluarga. Dengan begitu diharapkan problem  membludaknya jumlah pasien pemegang Kartu Jakarta Sehat (KJS) di sejumlah rumah sakit tidak terulang kembali. Dokter pribadi ini nantinya akan bekerjasama dengan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Fakultas Kedokteran UI. Sistemnya, orang yang sakit berobat ke dokter pribadi dulu, jika belum cukup maka baru disarankan untuk pergi ke Puskesmas atau RS. Jika program ini sudah berjalan, diperkirakan akan pasien yang menumpuk di RS akan turun drastis. Sehingga warga pemegang KJS tidak perlu lagi berdesak-desak di Rumah Sakit, namun cukup di rumah saja dokter akan datang. Rencananya dokter pribadi itu akan dilaksanakan per kelompok wilayah. Sedangkan untuk peruntukannya, program ini hanya untuk masyarakat miskin DKI Jakarta dengan perbandingan 1 : 2500. Jadi 1 dokter akan ditempatkan dalam sebuah pemukiman yang memiliki penduduk sekitar 2.500 orang.
Walaupun banyak pihak terutama DPRD DKI Jakarta menilai KJS berantakan, namun organisasi kesehatan dunia World Health Organization (WHO) yang berada dibawah PBB, menilai pelaksanaan sistem KJS cukup baik. WHO memberikan dukungan penuh terhadap pelaksanaan KJS terutama bagi warga yang tidak mampu di Jakarta.  WHO mengharapkan program KJS tersebut dapat menjadi contoh model pelaksanaan layanan kesehatan gratis di seluruh Indonesia, jadi tidak hanya untuk Jakarta saja. Sebagai organisasi kesehatan dunia, mereka melihat KJS dari semua aspek, mulai dari perencanaan, layanan, dokter, obat hingga pembayaran biaya perawatan dan obat kepada pihak rumah sakit, serta aspek-aspek lainnya. Sementara ini WHO belum memberikan kritikan untuk KJS karena dinilai sistemya cukup baik.

2.    Solusi dan kesimpulan
Melihat kenyataan banyaknya permasalahan yang muncul setelah satu tahun pelaksanaan Kartu Jakarta Sehat, maka diperlukan sekali evaluasi secara menyeluruh untuk mengetahui dengan pasti apa saja kelemahan kan kelebihan di setiap tahapan. Mulai dari tataran perencanaan, semestinya dilakukan peninjauan ulang, dari persiapan program, sosialisasi program dan prosedurnya, perencanaan sasaran pemegang KJS, rencana gandeng RS, antisipasi meluapnya pasien, penentuan tarif premi tiap bulannya untuk per kepala, dan lain sebagainya. Selanjutnya analisis pelaksanaan mulai dari pendaftaran pasien, sistem pelayanan, sistem pembayaran, penggunaan prosedur, dan pelaksanaan lainnya yang juga perlu diperhatikan. Sedangkan pada tataran evaluasi yang perlu dikaji adalah bagaimana sistem pengawasan yang sudah dilakukan, jika memang belum baik lakukan sistem pengawasan baru yang lebih efektif sehingga dapat menontrol segala kegiatan pelaksanaannya. Dengan dilakukan peninjauan ulang secara detail saya yakin akan muncul banyak bahan evaluasi dan perbaikan untuk kelanjutan pelaksanaan sistem.
Mengenai sulitnya penentuan tarif premi, seyogyanya Pemprov DKI segera melakukan komunikasi, dengan pendekatan kepada pihak terkait seperti warga pengguna KJS, RS pemerintah, RS swasta, dan pihak BPJS untuk merundingkan besaran premi yang tepat. Hal ini sangat penting dilakukan supaya masalah-masalah seperti RS merasa rugi sedangkan BPJS yang diuntungkan, perbedaan golongan RS, penyalahgunaan KJS oleh warga dan lain sebagainya tidak lagi ada. Perlu juga dilakukan uji coba mekanisme pembayaran yang baru (INA CBG's) sehingga dapat diketahui kekurangan dan kelebihan dari sistem pembayaran tersebut. Setelah diketahui permasalahannya lalu perbaiki secara berkala. Selain itu, sebagai perbaikan sistem kontrol Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga sebaiknya membuat tim surveyor untuk ditempatkan di beberapa titik, puskesmas, RS swasta dan RS pemerintah untuk melakukan pengawasan pada pelaksanaan sistem KJS supaya jalannya tidak keluar dari jalur. 
Di balik banyaknya tanggapan negatif yang bermunculan, sebenarnya banyak tanggapan positif sebagai dukungan pada sistem KJS ini, bahkan mungkin lebih banyak jika dibandingkan yang negatif. Wajar saja jika yang ditonjolkan adalah kekurangan dan keburukan sistem, namanya juga dalam dunia politik pasti ada pihak-pihak yang kontra. Banyak sekali warga DKI Jakarta yang mendukung program ini, jarang sekali ditampilkan k publik. Namun jika ada satu saja yang berkomentar buruk, pasti akan muncul di berbagai media. Namanya media sudah pasti akan mencari yang lain, yang laris jika dijual. Maka di balik ketenaran nama Jokowi, akan selalu dicari sisi kelemahannya, termasuk pada pelaksanaan sistem KJS ini.  
Jika dinilai secara keseluruhan sebenarnya sistem KJS ini sangatlah baik, karena pada dasarnya perencanaan sebuah sistem tidak ada yang tidak baik. Hanya saja jika sistem diterapkan untuk wilayah yang luas dengan banyak sekali komponen di dalamnya maka tentu saja pelaksanaan dan evaluasinya menjadi sangat ruwet. Dibutuhkan banyak pihak untuk mendukung keberhasilan program ini, tidak hanya Jokowi-Ahok dan jajarannya tetapi juga pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat secara luas. Pemprov DKI sudah sangat baik memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada warganya untuk memperoleh jaminan kesehatan dengan KJS, namun banyak pihak yang belum mau turut serta dalam menyukseskan sistemnya, seperti RS swasta yang masih mempermasalahkan besaran premi.

 Referensi:

1 komentar:

  1. Jakarta, Aktual.com —Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) membantah kurangnya sosialisasi Kartu Jakarta Pinta (KJP). Hal itu terkait dengan antrean warga yang hendak mencairkan KJP di beberapa wilayah.

    “Bukan kurang sosialisasi, ini tuh persoalannya otaknya sudah biasa mencuri duit pakai mau narik cash melulu terus ribut, saya sih diemin saja,” kata Ahok di Balaikota, Jumat (31/7).

    KJP Dinilai Kurang Sosialisasi, Ahok Sebut Warga Jakarta Miliki ‘Otak Pencuri’

    BalasHapus