Minggu, 26 Januari 2014

Penerapan Paradigma Empat Pilar Pendidikan (UNESCO) dalam Model Pembelajaran Berbasis Proyek (PBL)





PENERAPAN PARADIGMA EMPAT PILAR PENDIDIKAN (UNESCO) DALAM MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK (PBL) UNTUK MENINGKATKAN SOFT SKILLS LULUSAN SMK

Disusun oleh Singgih Subiyantoro

A.  Pendahuluan
Pendidikan kini menjadi tolok ukur kualitas suatu bangsa. Lalu, bagaimana dengan kondisi pendidikan Indonesia? Berdasarkan hasil survei PERC lembaga konsultan dari Hongkong, pendidikan Indonesia menempati peringkat terendah dari 12 Negara di Asia Tenggara. Korea Selatan dan Singapura mendapati peringkat teratas.
Berbicara mengenai permasalahan pendidikan, maka kegiatan pembelajaran di dalam kelas menjadi faktor yang sangat esensial untuk dikaji dan dievaluasi serta dirancang ataupun diperbaiki kembali untuk tercapainya tujuan pendidikan. Di abad ke-21 ini pendidikan seharusnya mampu mengarahkan pebelajar agar dapat beradaptasi dalam situasi baru yang muncul dalam diri dan lingkungannya. Pada kondisi seperti itu maka diperlukan kemampuan untuk belajar bagaimana belajar (learning how to learn) dan belajar sepanjang hayat (life long education)
Sementara itu, Lasmawan (I Gusti Bagus Wacika, dkk: 2013) berpendapat bahwa pendidikan yang relevan harus bersandar pada empat pilar pendidikan yaitu (1) learning to know, yakni pebelajar mempelajari pengetahuan, (2) learning to do, yakni pebelajar menggunakan pengetahuannya untuk mengembangkan keterampilan, (3) learning to be, yakni pebelajar belajar menggunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk hidup, dan (4) learning to live together, yakni pebelajar belajar untuk menyadari bahwa adanya saling ketergantungan sehingga diperlukan adanya saling menghargai antara sesama manusia.
Berdasarkan pendapat tersebut maka pendidikan saat ini diharapkan mampu membekali setiap pebelajar dengan pengetahuan, keterampilan, serta nilai-nilai dan sikap, dimana proses belajar bukan semata-mata mencerminkan pengetahuan (knowledge – based) tetapi mencerminkan keempat pilar pendidikan. Dengan memperhatikan keempat pilar pendidikan tersebut, diharapkan banyak kompetensi-kompetensi yang dapat dikembangkan yang berguna bagi kehidupan peserta didik dimasa depan, seperti kompetensi keagamaan, ekonomi, sosial, dan soft skills.
Soft skills kini menjadi hal yang sangat penting untuk dimiliki setiap pebelajar guna mempersiapkan diri menghadapi era globalisasi. Dengan dibekali soft skills diharapkan pebelajar nantinya lebih mudah untuk beradaptasi dengan dunia luar (lingkungan masyarakat dan dunia kerja). Pengembangan soft skills dapat dilakukan dengan pembiasaan dan dapat diajarkan di lembaga pendidikan formal, informal maupun non formal. Dalam pengembangannya, dibutuhkan sebuah desain pembelajaran yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat merangsang atau memperkuat soft skill yang dimiliki pebelajar. Desain pembelajaran dalam hal ini meliputi pemilihan pendekatan, model strategi dan metode-metode pembelajaran yang tepat, yang sesuai dengan peserta didik maupun karakteristik bidang studi. Menurut penulis, salah satu model pembelajaran yang cocok untuk menerapkan empat pilar pendidikan untuk dapat meningkatkan dan menguatkan soft skills lulusan SMK adalah model pembelajaran berbasis proyek (project based learning). Dengan menggunakan model ini, pebelajar dikondisikan untuk belajar dengan kenyataan, dengan kerja nyata.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai makna empat pilar pendidikan yang dicanangkan UNESCO, model pembelajaran berbasis proyek (project based learning) dengan penerapan empat pilar pendidikan, serta penerapan paradigma empat pilar pendidikan untuk meningkatkan soft skills lulusan SMK.

B.  Pembahasan
1.    Makna Empat Pilar Pendidikan (UNESCO)
a.    Learning to know (belajar mengetahui)
Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha untuk mencari agar mengetahui informasi yang dibutuhkan dan berguna bagi kehidupan. Belajar untuk mengetahui (learning to know) dalam prosesnya tidak sekedar mengetahui apa yang bermakna tetapi juga sekaligus mengetahui apa yang tidak bermanfaat bagi kehidupannya. Soetarno (2011: 15) berpendapat bahwa penekanan learning to know adalah pada penguasaan alat belajar bagi seluruh peserta didik. Jadi pembelajaran tidak semata-mata dilihat dari pemerolehan pemahaman saja.
Di dalam konsep learning to know pendidik harus mampu berperan sebagai informator, organisator, motivator, diretor, inisiator, transmitter, fasilitator, mediator, dan evaluator bagi siswanya, sehingga peserta didik perlu dimotivasi agar timbul kebutuhan terhadap informasi, keterampilan hidup, dan sikap tertentu yang ingin dikuasainya. Dalam penerapannya, selain guru harus mampu menempatkan dirinya sebagai fasilitator, guru juga dituntut untuk dapat berperan ganda sebagai kawan berdialog bagi siswanya dalam rangka mengembangkan penguasaan pengetahuan siswa.
b.   Learning to do (belajar melakukan sesuatu)
Pendidikan juga merupakan proses belajar untuk dapat melakukan sesuatu (learning to do). Proses belajar menghasilkan perubahan dalam ranah kognitif, peningkatan kompetensi, serta pemilihan dan penerimaan secara sadar terhadap nilai, sikap, penghargaan, perasaan, serta kemauan untuk berbuat atau merespon suatu stimulus. Pendidikan membekali manusia tidak sekedar untuk mengetahui, tetapi lebih jauh untuk terampil berbuat atau mengerjakan sesuatu sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan.
Soetarno dalam bukunya “ pembelajaran efektif” menambahkan bahwa makna learning to do adalah agar pembelajaran menekankan perlunya pengembangan inovasi. Pengalaman-pemngalaman belajar yang terkait hal ini adalah menumbuhkan kemampuan bekerja secara tim, pengembangan jaringan, membangun kemitraan, kreativitas, kemampuan pemecahan masalah, serta pengambilan sebuah keputusan.
Konsep learning to do juga dapat kita artikan bahwa siswa dilatih untuk sadar dan mampu melakukan suatu perbuatan atau tindakan produktif dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Berkaitan dengan hal tersebut maka proses belajar-mengajar perlu didesain secara aplikatif agar keterlibatan peserta didik, baik fisik, mental dan emosionalnya dapat terakomodasi sehingga mencapai tujuan yang diharapkan.
Sekolah dan lembaga pendidikan lainya sebagai wadah masyarakat belajar seyogyanya memfasilitasi siswanya untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimiliki, serta bakat dan minatnya agar learning to do dapat terrealisasi. Walau sesungguhnya bakat dan minat anak dipengaruhi faktor keturunan namun tumbuh dan berkembangnya bakat dan minat juga bergantung pada lingkungan. Seperti kita ketahui bersama bahwa keterampilan merupakan sarana untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan semata.
c.    Learning to be (belajar menjadi sesuatu)
Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari proses menjadi diri sendiri (learning to be). Hali ini erat sekali kaitannya dengan bakat, minat, perkembangan fisik, kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Menjadi diri sendiri diartikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya merupakan proses pencapaian aktualisasi diri.
Konsep learning to be, perlu di pahami oleh pendidik dan praktisi pendidikan untuk melatih siswa agar mampu memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Percaya diri bisa menjadi modal utama bagi siswa untuk hidup dalam masyarakat. Pengembangan diri, cara pandang, dan cara berpikir dianggap paling baik dalam menghadapi berbagai lingkungan yang berbeda dalam hidup manusia. Pendidikan merupakan sarana pengembangan sumber daya manusia, dalam prosesnya bersifat individual yakni dalam diri pebelajar tetapi juga sekaligus sebagai proses membentuk pengalaman berinteraksi dengan orang lain.


d.   Learning to live together (belajar hidup bersama)
Pada pilar keempat ini, kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima perlu dikembangkan disekolah. Kondisi seperti inilah yang memungkinkan tumbuhnya sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama.
Dengan kemampuan yang dimiliki, dapat dijadikan sebagai bekal untuk mampu berperan dalam lingkungan di mana individu tersebut berada, dan sekaligus mampu menempatkan diri sesuai dengan perannya. Pemahaman tentang peran diri dan orang lain dalam kelompok belajar merupakan bekal dalam bersosialisasi di masyarakat (learning to live together). Untuk itu, pendidikan di Indonesia harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian maka pada gilirannya akan menjadikan masyarakat Indonesia masyarakat yang bermartabat di mata masyarakat dunia.
Konsep learning to live together tumbuh karena perlunya kerjasama dalam menyelesaikan proyek-proyek kolaboratif. Dengan demikian diharapkan dapat menjadi cara yang efektif untuk mencegah munculnya suatu konflik. Tugas pendidik terkait dengan pilar ini adalah menumbuhkan kesadaran peserta didik tentang keberagaman dalam masyarakat dan menanamkan rasa saling ketergantungan antar sesama manusia (aspek sosial).
2.    Model Pembelajaran Berbasis Proyek dengan Penerapan Empat Pilar Pendidikan
Pendidikan yang berfokus hanya pada isi atau hasil, kini sudah seharusnya bergeser pada proses. Saat ini kontrol pembelajaran tidak lagi berpusat pada guru atau pendidik melainkan pada peserta didik (student centered learning) yang mana mereka aktif mengkonstruksikan ilmu pengetahuan (konstruktivistik), sehingga penekanan bukan lagi hanya pada teori melainkan juga pada bagaimana suatu pekerjaan dikerjakan.
Project based learning merupakan salah satu bentuk model pembelajaran yang menggunakan pendekatan student centered learning. Model pembelajaran ini lebih menekankan proses, proyek atau karya dari peserta didik ketimbang hasil. Menurut Thomas, sebagaimana dikutip oleh Wena (2009: 144) pembelajaran berbasis proyek merupakan model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada guru untuk mengelola pembelajaran di kelas dengan melibatkan kerja proyek. Hal ini banyak digunakan untuk menggantikan metode pengajaran tradisional dimana guru sebagai pusat pembelajaran. Boondee et al dalam Rosyidatul Munawaroh, dkk (2013: 2).
Rosyidatul Munawaroh, dkk (2013: 2) memaparkan hasil penelitian mengenai penerapan PBL yang dilakukan oleh Thomas di tahun 2000 yang menunjukkan bahwa hasil belajar siswa menggunakan model Project Based Learning naik hampir 26% dibandingkan sekolah kontrol dan ada peningkatan yang signifikan kemampuan memecahkan suatu masalah antara pre-tes dan post-tes untuk kelas eksperimen menggunakan model Project Based Learning. PBL mampu meningkatkan motivasi siswa dan memberikan gambaran tersendiri dalam semua tingkatan
Pembelajaran berbasis proyek (PBL) yang terdiri proyek yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan, teknologi, masyarakat, sejarah, matematika, politik dan kesempatan diskusi produktif untuk siswa, mendorong penyelidikan siswa diarahkan masalah dunia nyata, memberikan mereka semangat belajar dan pengajaran menjadi efektif (Turgut,2008:61).
Selanjutnya ada penemuan bahwa pembelajaran berbasis proyek dapat meningkatkan hasil belajar siswa, meningkatkan aktivitas dan keterlibatan siswa dalam karya siswa, lebih menyenangkan, bermanfaat serta lebih bermakna (Purworini, 2006: 19). Hal ini diperkuat oleh penelitian Wiyarsi & Partana (2009:40) yang menyimpulkan bahwa penerapan pembelajaran berbasis proyek cukup efektif dalam meningkatkan aspek kemandirian, aspek kerja sama kelompok, dan aspek penguasaan psikomotorik.
Dari beberapa pendapat dan hasil penelitian mengenai kebermanfaatan model PBL, maka model ini kiranya memberikan kesempatan kepada siswa untuk meningkatkan proses dan hasil belajar siswa dalam membangun empat pilar pembelajaran, karena pemahaman siswa dapat meningkat melalui proses bekerja ilmiah (learning to do) yang dilakukan secara kolaboratif (learning to live together), sehingga kemandirian belajar pada siswa akan tercapai (learning to be).
Dalam model project based learning belajar mengetahui (learning to know) sangat dibutuhkan karena peserta didik dituntut aktif dalam kegiatan belajar lapangan dan desain belajar ini merupakan desain yang interaktif dan melibatkan semua domain pembelajaran yaitu kognitif, afektif,  maupun psikomotor. Pebelajar dituntut untuk aktif dalam memecahkan masalah belajar dalam situasi nyata untuk meningkatkan pengetahuan dan prestasinya. Dengan  model  pembelajaran ini (learning to know) akan terus berkembang karena belajar secara langsung akan lebih mudah dipahami pebelajar.
Penerapan pilar kedua (learning to do) dalam PBL yakni balajar untuk menguasai keterampilan dan kompetensi kerja. Kompetensi ini akan terus meningkat hingga profesional. Learning to do sangat dibutuhkan dalam project based learning  untuk membekali peserta didik dalam mempersiapkan diri memasuki dunia kerja, karena peserta didik belajar bukan hanya secara teori melainkan praktek di lapangan. Model project based learning memiliki potensi yang besar untuk membuat pengalaman belajar yang menarik dan bermakna bagi mahasiswa untuk memasuki lapangan kerja maka dari itu ketrampilan berkarya sangat di perlukan.
Pilar yang ke 3 (learning to live together) dalam PBL dimaksudkan agar peserta didik mampu berinteraksi, bekerja dalam tim, berkomunikasi dengan orang lain dan hidup bersama antar kelompok. Tiap kelompok pasti memiliki latar belakang yang berbeda, baik itu pendidikan, kebudayaan, tradisi, maupun tahap perkembangan yang berbeda, agar bisa bekerjasama dan hidup rukun, mereka harus banyak belajar bagaimana hidup bersama.
Sedangkan pilar yang ke 4 (learning to be) di dalam model pembelajaran ini lebih menekankan pada bagaimana peserta didik dituntut  banyak belajar mengembangkan seluruh aspek kepribadiannya dalam rangka menjadikannya manusia yang utuh, baik aspek intelektual, emosi, sosial, fisik, maupun moralnya.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa model project based learning (PBL) merupakan salah satu model pembelajaran yang kiranya cocok untuk diterapkan pilar-pilar pendidikan dimana model ini juga memberikan kesempatan yang luas bagi peserta didik dalam mengembangkan kemampuan hard skill maupun soft skill.
3.    Penerapan Paradigma Empat Pilar Pendidikan untuk Meningkatkan Soft Skills Lulusan SMK
Pencapaian dari hasil belajar sebagai hasil pengembangan intelektual atau kognitif siswa harus juga diimbangi dengan pencapaian dan perkembangan pada aspek soft skill (afektif) siswa. “Konsep soft skill” maksudnya tidak lain adalah karakter atau sikap dan perilaku yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemuliaan, seperti kejujuran, kesabaran, keberanian, kemandirian, tanggung jawab, kepedulian dan lain-lain” (Marzuki, 2012). Menurut Muqowim (2011:10) “Soft skills adalah kemampuan mengelola diri secara tepat dan kemampuan membangun relasi dengan orang lain secara efektif”.
Setiap guru atau pendidik hendaknya mampu mengintegrasikan soft skills dalam proses pembelajaran sehingga siswa mampu mengasah dan mengembangkan kemampuan soft skills secara rutin. Adanya pembelajaran terpadu antara hard skills dan soft skills sangatlah diharapakan keberadaannya karena kemampuan soft skills tidak kalah pentingnya dengan kemampuan hard skills. Melalui strategi pembelajaran yang tepat, soft skills menjadi hal yang mungkin dapat diintegrasikan dalam proses pembelajaran sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan soft skillnya.
Soft skill meliputi kemampuan intrapersonal dan kemampuan interpersonal seseorang. Contoh dari intrapersonal skills adalah time management, stress management, change management, transforming beliefs, transforming character, creative thinking processes, goal setting and life purpose, dan accelerated learning technicques. Sedangkan interpersonal skills, contohnya adalah; motivation skills, leadership skills, negotiation skills, presentation skills, communication skill, relationship building, public speaking skills, dan self-marketing skills.
Dari berbagai macam soft skills ini sebagian besar tidak diajarkan secara langsung di dalam mata pelajaran atau dalam kurikulum. Akan tetapi, soft skill ini dapat di sisipkan ke dalam pembelajaran sehari-hari di kelas. Tentu saja guru adalah orang yang paling berperan dalam menjembatani atau menyalurkannya kepada siswa. Di dalam penerapannya, agar soft skill dapat berkembang dengan baik maka diperlukan sebuah rancangan pembelajaran yang benar-benar dapat di sisipi beragam skill itu, tentunya adalah desain pembelajaran yang mengedapankan empat pilar pendidikan. Lalu desain seperti apa yang tepat untuk diterapkan dalam pembelajaran SMK? Dalam hal ini penulis menyarankan penggunaan model pembelajaran project based learning (PBL). Asumsinya adalah PBL merupakan model pembelajaran nyata, kerja langsung sehingga akan sangat cocok dengan tujuan dari SMK yang mengedepankan praktek dibanding teori. Dengan pembelajaran praktek ini tentunya akan sangat meningkatkan hard skill siswa. Namun, soft skill juga akan ikut berkembang dengan baik asalkan pembelajarannya dirancang sedemikian rupa sehingga siswa mendapat kesempatan luas dalam mengembangkan soft skillnya.
PBL menggunakan pendekatan student learning centered yang mana memposisikan peserta didik sebagai kontrol utama dalam pembelajaran. Dengan pendekatan ini, diharapkan siswa akan lebih berkembang kemampuan hard dan soft skillnya. Salah satu model dari pendekatan ini yang menurut penulis cocok untuk mengembangkan soft skill lulusan SMK adalah “ project based learning”.  Kaitannya dengan paradigma empat pilar pendidikan UNESCO, model pembelajaran project based learning menyediakan ruang yang seluas-luasnya untuk dapat menguatkan soft skills lulusan SMK.
Kaitannya dengan paradigma empat pilar pendidikan UNESCO, model pembelajaran project based learning menyediakan ruang yang seluas-luasnya untuk dapat menguatkan soft skills lulusan SMK.  Misalnya dalam pembelajaran  sekretaris. Bila pembelajaran sekretaris  diterapkan dengan model  ini, siswa akan diajak untuk terjun langsung ke lapangan (magang) bagaimana menjadi seorang sekretaris di sebuah perusahaan misalnya. Dengan demikian akan banyak kemampuan yang didapat oleh siswa, baik itu soft skill maupun hard skill. Soft skill yang dapat diperoleh misalnya time management (learning to know), creative thinking proccess, problem solving (learning to do), relationship building (learning to live together), kemandirian (learning to be). Sedangkan hard skill yang diperoleh peserta didik tentunya adalah keterampilan menulis.
Dari contoh diatas sudah bisa ditarik kesimpulan bahwa banyak soft sklill yang diperoleh ketimbang hard skill. Dengan begitu maka model ini dapat dikatakan tepat untuk mengembangkan soft skill lulusan.

C.  PENUTUP
1.    Kesimpulan
Dengan mengaplikasikan pilar-pilar tersebut, diharapkan pendidikan yang berlangsung di Indonesia dapat menjadi lebih baik. Perancangan pembelajaran yang sesuai akan sangat menunjang penguatan soft skill siswa. PBL dapat dijadikan sebagai alternatif model pembelajaran yang menerapkan empat pilar pendidikan dengan tujuan utamanya adalah menguatkan soft skill siswa. Dengan PBL dan empat pilar ini diharapkan lulusan SMK memperoleh lebih banyak soft skill untuk bekal menghadapi dunia kerja.

2.    Saran
Untuk peserta didik, pendidik maupun tenaga kependidikan, mari kita memulai mengintrospeksi diri masing-masing, sudah sejauh mana kita berbuat untuk pendidikan di negeri kita ini, mulailah melakukan perubahan-perubahan kecil dan perbaikan terhadap persoalan pendidikan yang bertahun-tahun melilit negeri ini. Kembangkan diri melalui pelatihan-pelatihan soft skills agar kita mampu bersaing dan bergumul dengan masyarakat luar.

DAFTAR PUSTAKA

Dayan Maulana. (2010). Empat Pilar Pendidikan Menurut Unesco. Diambil dari situs http://dayanmaulana.blogspot.com/2010/06/empat-pilar-pendidikan-menurut-unesco.html pada tanggal 15 Oktober 2013.
I Gusti Bagus Wacika, dkk. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Terhadap Hasil Belajar IPS Ditinjau dari Sikap Sosial dalam Pembelajaran IPS pada Siswa Kelas V di SDN 4 Panjer. e-Journal Universitas Pendidikan Ganesha, 1 (3): 2
Purworini. (2006). Pembelajaran Berbasis Proyek sebagai Upaya Mengembangkan Habit of Mind. Jurnal Pendidikan Inovatif, 1 (4): 17-19.
Wena, M. (2009). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi Aksara
Muqowim. (2011). Pengembangan Soft Skill Guru. Yogyakarta: Pedagogika.
Marzuki. 2012. “Pengembangan Soft Skill Berbasis Karakter Melalui Pembelajaran IPS Sekolah Dasar”. Diunduh dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/dr-marzuki-mag/dr-marzuki-mag-pengembangan-soft-skill-berbasis-karakter-melalui-pembelajaran-ips-sd.pdf (diakses tanggal 15 Oktober 2013).
Rosyidatul Munawaroh, dkk. (2012). Penerapan Model Project Based Learning dan Kooperatif untuk Membangun Empat Pilar Pembelajaran Siswa SMP, 1 (1): 2-3
Turgut, H. (2010). Prospective Science Teachers: Conceptualization about Project Based Learning. International Journal of Intruction, 1 (1): 61-79






3 komentar: